Art and Science

Oleh Muchammad Hafiz Ramadhan, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber : Website Pajak

Sebuah perusahaan tambang di Australia diminati oleh perusahaan tambang dari Inggris. Yang menarik, perusahaan ini bersedia membeli perusahaan tambang asal Australia dengan harga yang jauh lebih tinggi dari nilai bukunya. Setelah dilakukan appraisal, diketahui bahwa alasan perusahaan tambang asal Inggris menawar perusahaan tambang di Australia dengan harga jauh lebih tinggi dari nilai bukunya karena selama bertahun-tahun perusahaan tambang ini zero accident dan itu mencerminkan bahwa perusahaan tambang ini adalah perusahaan yang bagus. Dalam proses penilaian diketahui bahwa ternyata Standard Operating Procedure (SOP) perusahaan tambang asal Australia ini sangat bagus sehingga dapat menekan kecelakaan kerja hingga ke tingkat zero accident. Itulah intangible asset perusahaan tambang ini, SOP.

Cerita di atas merupakan sedikit pengalaman seorang praktisi penilai publik ketika diminta menilai sebuah perusahaan pertambangan di Australia. Beliau merupakan satu dari sedikit orang yang berprofesi sebagai penilai publik yang berkonsentrasi pada bidang penilaian bisnis (business valuation). Menurut data Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), pada September 2012, setidaknya terdapat 334 orang penilai publik yang terdaftar. Dari 334 penilai publik tersebut, 49 penilai yang bersertifikasi sebagai penilai bisnis (Penilai B), 285 penilai bersertifikasi sebagai penilai properti (Penilai P) dan 45 orang yang bersertifikasi sebagai penilai bisnis sekaligus penilai properti (Penilai PB). Tercatat ada 109 Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) di Indonesia yang berdiri untuk memberikan jasa penilaian kepada masyarakat.

Selama ini, jasa penilaian lebih dikenal berkaitan dengan penilaian aset berupa tanah dan/atau bangunan (properti). Penilaian bisnis atau penilaian usaha memang belum dikenal luas. Secara definisi, penilaian usaha adalah suatu kegiatan atau proses untuk memperoleh pendapat atau perkiraan nilai suatu bisnis atau perusahaan/entitas atau suatu kepemilikan di dalamnya. Ruang lingkup penilaian bisnis meliputi penilaian entitas bisnis (perusahaan/badan usaha); penilaian penyertaan (ekuitas); penilaian instrumen surat berharga dan derivatif; penilaian hak dan kewajiban perusahaan; penilaian aktiva tidak berwujud; penilaian kerugian ekonomis yang diakibatkan oleh suatu kegiatan atau peristiwa tertentu (economic damage); penilaian atas transaksi material dan/atau transaksi benturan kepentingan; opini kewajaran dan studi kelayakan usaha.

Menurunkan Bunga Kredit Bank

Oleh : Sigit Pramono adalah Ketua Umum Perbanas
Sumber : Bisnis Indonesia

Bunga kredit bank memang akan selalu menjadi isu yang memikat secara politis. Banyak kalangan yang me­­­nilai bahwa bunga kredit bank saat ini masih tinggi. Selama ini per­­bank­an selalu menjadi tertuduh uta­­­ma penyebab ‘tingginya bunga kredit’.

DPR, Kadin, dan Apindo menuding per­­­bankan. Bahkan, BI pun pernah me­­­ngeluarkan pernyataan bahwa ting­­­ginya bunga kredit karena perbankan tidak efisien. Terakhir Ko­­­misi Pengawas Persaingan Usaha me­­­lempar wacana adanya dugaan praktik kartel di perbankan sehingga bu­­­nga sulit turun.

Jadi, mudah dipahami jika persetujuan DPR atas Agus D.W. Marto­­war­­do­­jo untuk menjadi Gubernur BI pe­­riode 2013-2018, juga disertai dengan em­bel-embel catatan, sama seperti gu­­bernur periode sebelumnya. Gu­­bernur BI diminta untuk menu­­run­­kan suku bunga kredit perbankan.

Berkenaan dengan hal tersebut, agar akar persoalan dapat diurai de­­­ngan baik, mari kita lihat empat kom­­ponen pembentuk suku bunga kre­­­dit yaitu biaya dana, biaya operasi, margin keuntungan, dan premi ri­­­siko.

Gu­­bernur BI diminta untuk menu­­run­­kan suku bunga kredit perbankan.

Secara matematika bunga kredit me­­­rupakan penjumlahan dari ke em­­­pat komponen tersebut. Jadi, bunga kre­­­dit akan turun jika salah satu komponen tersebut turun, atau kom­­­bi­­nasi dari beberapa komponen tu­­­run atau bila semua komponen turun se­­­rentak.

BI dapat mempengaruhi tingkat su­­­­­­ku bunga kredit dengan kebijakan mo­­­neter menaikkan atau menurunkan bunga acuan BI.

Menangani Outsourcing


Oleh : DINNA WISNU PhD
Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, Universitas Paramadina
@dinnawisnu (Koran SI/Koran SI/ade)


Menjelang 1 Mei 2013, di mana Hari Buruh akan dirayakan lagi secara besar-besaran oleh kalangan serikat pekerja, kita sudah mulai melihat dan masih akan menyaksikan rangkaian demonstrasi pekerja di tempat-tempat strategis di Ibu Kota.

Salah satunya dikabarkan akan dilakukan akhir bulan ini. Isu yang diusung adalah kebutuhan hidup layak, upah, jaminan sosial, serta penghapusan outsourcing. Secara khusus, saya ingin mengupas permasalahan outsourcing, terutama dari sudut komparatif yang lebih makro. Harapan saya, hal ini bisa membantu melihat isu tersebut secara lebih holistis dan jernih.

Outsourcing adalah istilah teknis bagi perusahaan yang memutuskan untuk melakukan subkontrak bagi fungsi-fungsi tertentu dalam perusahaan itu. Outsourcing maksudnya adalah "outside resourcing", jadi perusahaan mendapatkan sumber daya dari luar (Troaca & Bodislav 2012). Dalam banyak kasus, istilah ini dicampuradukkan dengan praktik offshoring, yakni pencarian penyedia fungsi yang disubkontrakkan tadi di luar negeri.

Memang, karena negara kita sudah membuka diri seluas-luasnya untuk masuknya investasi dan modal asing, belum lagi teknologi informasi dan komunikasi sudah demikian pesatnya, maka kegiatan offshoring tadi meluas juga di Indonesia. Contohnya PT Tae Kwang Industri Indonesia (PT TII) yang memegang merek sepatu Nike, sedang membangun pabrik berkapasitas 15 ribu pegawai di tiga desa di Subang, Jawa Barat.
 

COINPOT

COINPOT