Tatacara Pendaftaran NPWP sesuai peraturan terbaru PER-20/PJ/2013

Tatacara Pendaftaran NPWP telah diatur kembali melalui PER-20/PJ/2013. Beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait peraturan tersebut dapat disarikan sebagai berikut:

SYARAT-SYARAT :
Dokumen yang disyaratkan sebagai kelengkapan permohonan pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP):
  1. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas berupa:
    • fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Warga Negara Indonesia; atau
    • fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing.
  2. Untuk Wajib Pajak orang pribadi, yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas sebagaimana berupa:
    • fotokopi Kartu Tanda Penduduk bagi Warga Negara Indonesia, atau fotokopi paspor, fotokopi Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) atau Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP), bagi Warga Negara Asing; dan
    • dokumen izin kegiatan usaha yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang atau surat keterangan tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dari Pejabat Pemerintah Daerah sekurang-kurangnya Lurah atau Kepala Desa.
  3. Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi adalah wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, dan wanita kawin yang memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya secara terpisah, permohonan juga harus dilampiri dengan:
    • fotokopi Kartu NPWP suami;
    • fotokopi Kartu Keluarga; dan
    • fotokopi surat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, atau surat pernyataan menghendaki melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakan terpisah dari hak dan kewajiban perpajakan suami.

WAWANCARA KHUSUS Dirjen Pajak, Fuad Rahmany: "Saat Ini Memang Periode Penangkapan" Sektor properti diaudit. Diduga, NJOP itu jauh dari harga sebenarnya.

Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, memiliki peran penting menyumbang penerimaan negara terbesar di Indonesia. Untuk itu, pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dalam instansi tersebut harus dipastikan berjalan dengan benar.

Selama beberapa tahun belakangan ini, reformasi birokrasi di instansi tersebut terus dilakukan. Hasil dari upaya tersebut, penerimaan pajak terus digenjot, meski sering tak sesuai target. Kasus-kasus penyelewengan, khususnya yang melibatkan oknum pegawai pajak terus terungkap dan ditindak tegas.

Direktur Jenderal Pajak, Fuad Rahmany, mengakui, saat ini masih ada ruang untuk pegawainya yang nakal untuk mengambil keuntungan pribadi.
Saat melakukan pertemuan dengan para pemimpin redaksi media, belum lama ini, Fuad membeberkan sejauh mana proses pembenahan di instansinya saat ini. Berikut petikannya:

Kenapa kasus penyelewengan yang dilakukan oknum pegawai pajak masih terjadi?
Ini memang periode penangkapan. Ditjen Pajak ini kan organisasi yang besar sekali. Ada sekitar 32 ribu pegawai, antara lain pemeriksa pajak itu ada sekitar 4.300 orang.

Mereka punya power, yang nanti di lapangan ketemu langsung wajib pajak. Mereka lah yang menemukan kesalahan wajib pajak di lapangan. Apalagi penyidik, jika setelah pemeriksaan ternyata ada kesalahan, nantinya bukan hanya soal kurang bayar pajak.

Bila ada unsur pidana pajak itu langsung naik ke penyidikan. Begitu masuk penyidikan, wajib pajak itu posisinya sudah akan masuk penjara. Dengan begitu, dia akan berusaha berbagai cara untuk mengajak nego penyidik.

Artinya, pada level pemeriksaan dan penyidikan ini rentan penyelewengan?
Terbanyak di pemeriksaan. Tapi, penyidikan juga area paling rentan yang bisa diajak negosiasi dan kolusi. Nah, ini harus kami perjelas, karena ada yang beranggapan, kan pasti diarahkan oleh pimpinannya. Meski sebenarnya pemeriksa dan penyidik lebih mengerti, bahkan dia tidak harus dikasih tahu oleh pimpinannya.

Sebagai contoh, untuk penyidikan ada 180 pegawai, dan pemeriksaan mencakup 56 ribu wajib pajak. Mana atasannya tahu, apalagi Dirjen seperti saya. Mana saya tahu apa yang terjadi di bawah. Jadi, itu selalu rentan akan negosiasi di bawah.

Bubble Properti ?

“Beli Hari Ini, Besok Harga Naik. “Investasi Sekarang, Balik Modal dalam 3 Bulan.” “Jangan Tunggu Lagi, Pasti Untung 130% dalam 6 Bulan”. 
 
Iklan-iklan seperti ini kian menjamur kita temukan di berbagai sudut jalan sampai ke pelosok ibukota. Selain kota-kota besar di Jawa, iklan-iklan ini juga banyak kita jumpai di kota-kota luar Jawa, kendati dengan nada promosi yang lebih rasional.
Dari cara mempromosikan produk-produk properti di atas, jelas properti lebih dipersepsikan sebagai instrumen investasi dibanding barang konsumsi. Padahal, properti sebenarnya baru layak dikatakan sebagai instrumen investasi jika kita menyewakannya untuk mendapatkan uang rental.
Tak heran cara promosi seperti ini sangat berperan dalam mendorong aliran likuiditas (terutama dari kelas menengah-atas) ke produk-produk properti sehingga harganya pun cenderung melonjak belakangan ini. Apalagi produk deposito sudah tak begitu menarik, dengan suku bunga sedemikian rendahnya antara 3-6%, lebih rendah dari inflasi (negative real interest rate). Alhasil, banyak yang mengalihkan investasinya ke aset properti dengan harapan mendapatkan imbal hasil rental yang sekitar 5-10% per tahun ditambah ekspektasi capital gain (selisih harga beli dibanding harga jual).
Kenaikan harga properti yang cukup signifikan di sejumlah kota besar akhir-akhir ini terekam dari survei-survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI), World Bank dan sejumlah konsultan properti. Survei properti BI di 14 kota besar di Indonesia menunjukkan kenaikan harga rumah rata-rata sebesar 11,2% YoY pada Q1-2013, dengan kenaikan tertinggi terjadi di Surabaya. Meski harga naik, permintaan tampaknya masih kencang, terutama di segmen menengah-atas. Menurut BI, penjualan rumah kelas menengah melonjak 33,6% YoY pada Q1-2013, terutama di daerah Jabodetabek.
Konsultan properti, Cushman & Wakefield bahkan dalam risetnya menyatakan harga rumah di Jakarta sudah naik sekitar 100 persen dalam tiga tahun terakhir. Bandingkan dengan tingkat inflasi Jakarta yang pada periode yang sama hanya 16,3%. Kondisi ini membuktikan bahwa Indonesia, khususnya Jakarta merupakan salah satu lokasi investasi properti paling menarik di Emerging Market.

Signifikan pengaruhi ekonomi

Di tengah perlambatan ekonomi global, sektor properti memang cukup berperan dalam menyangga ekonomi RI, paling tidak dalam empat tahun terakhir. Kuatnya geliat sektor konstruksi yang tumbuh antara 6,6-7,5%, diikuti oleh laju sektor konsumsi yang tumbuh 5-5,3% dalam empat tahun terakhir cukup signifikan berkontribusi pada pertumbuhan sehingga ekonomi RI masih bisa melaju di atas 6%.
Studi di beberapa negara menunjukkan sektor properti memiliki kaitan erat (backward & forward linkage) dengan sekitar 240-270 industri, sub industri dan jasa (tergantung tingkatan ekonomi negara tersebut). Selain sektor konstruksi, sektor properti secara langsung dan tak langsung terkait dengan banyak sektor lain, mulai dari produk semen, kayu, kabel, pipa, keramik, furniture, jasa arsitek, jasa interior, sampai jasa keuangan canggih seperti hedge fund dan produk derivatif. Beragamnya linkage tersebut menyebabkan siklus properti akan sangat signifikan mempengaruhi pertumbuhan dan keberlangsungan ekonomi suatu negara, termasuk negara berkembang seperti Indonesia.
Bagi Indonesia, dampak pertumbuhan sektor properti jelas terefleksi dari kontribusi sektor konstruksi terhadap agregat ekonomi RI yang terus meningkat dalam empat tahun terakhir. Pengaruhnya terhadap penyerapan tenaga kerja juga cukup signifikan. Sekurangnya 6% dari total tenaga kerja terserap langsung oleh sektor konstruksi dan tambahan sekitar 4% dari total tenaga kerja terserap oleh sektor-sektor lain yang terkait properti
Kontribusi sektor konstruksi ini baru merepresentasikan gelombang pertama dari dampak siklus pertumbuhan properti terhadap pertumbuhan ekonomi. Setelah itu, sektor properti bisa pula memicu gelombang kedua yang lebih didorong oleh dampak tak langsung dari pertumbuhan konsumsi.
 

COINPOT

COINPOT