Wajah Baru Otoritas Pajak

Walaupun belum diputuskan secara resmi, Tim Transisi Jokowi-JK sudah mengusulkan pembentukan Badan Otoritas Pajak dan Badan Penerimaan Negara dalam kabinet pemerintahan mendatang.

Badan yang diusulkan tersebut adalah bentuk baru Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu. Badan tersebut bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Dengan adanya Badan Otoritas Pajak ini maka diharapkan rasio pajak (tax ratio) akan naik menjadi 15% pada 2019 atau naik sekitar 3% lebih dibandingkan rasio pajak sekarang. Lantas, apakah dengan dibentuknya Badan Otoritas Pajak ini penerimaan pajak akan langsung meningkat? Jawabannya iya asalkan segera diikuti tiga hal penting yang mengiringi pembentukannya.
Hal pertama yarig harus segera dilakukan adalah menyiapkan legalitas pembentukan Badan Otori­tas Pajak ini. Legalitas ini harus ada menjelang pengumuman kabinet Jokwi-JK pada oktober mendatang. Legalitas pembentukan Badan Otoritas Pajak dapat dimasukkan dalam amandemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang saat ini sedang dibahas. Tetapi, harus diingat juga bahwa alasan utama dibentuknya badan ini sebenarnya adalah untuk memperbesar kapasitas Ditjen Pajak. Untuk itu, perlu ditambah kewenangan Dirjen Pajak dalam bidang sumber daya manusia (SDM), organisasi, dan pendanaan.

Segera Terbitkan Perpu

Karena itu, langkah yang tepat adalah memasukan juga kewenang­an yang dinginkan tadi ke dalam amendemen UU KUP. Undang-undang KUP bukan hanya mengatur ketentuan formal perpajakan saja, namun harus mengatur tentang hal-hal khusus terkait otoritas pemungutan pajak, seperti sistem rekrutmen, status pegawai, sistem penggajian, sistem pemberhentian, penambahan dan pengurangan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan sistem pendanaan.
Undang-undang KUP dapat meniru UU Bank hidonesia yang di dalamnya juga mengatur tentang sistem pengajian khusus pegawai Bank Indonesia. Tentunya ini sangat mungkin dilakukan karena amanat pajak diatur langsung dalam UUD 1945, yang mengindikasikan begitu pentingnya Ditjen Pajak. Kalaupun sangat mendesak dengan pertimbangan momentum yang tepat, pemerintah dapat segera menerbitkan peraturan pemerintah peng-ganti undang-undang (Perpu) KUP mengiringi pembentukan Badan Otoritas Pajak ini.
Berkaca pada penerbitan Perpu KUP Tahun 2009, Pemerintah pernah menerbitkan Perpu KUP untuk mengadopsi satu pasal perpanjangan pengampunan sanksi pajak (Sunset Policy). Dapat dikatakan, secara legal formal, pembentukan Badan Otoritas Pajak sudah tidak menjadi masalah lagi.

Pajak Klaim Asuransi


PERTANYAAN:
Bila perusahaan saya mendapat penggantian klaim asuransi atas barang dagangan yang kebanjiran, apakah klaim itu merupakan objek pajak atau bukan?
Lalu, jika perusahaan saya melakukan transaksi dengan pembeli yang yang tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP), apakah nanti bisa bermasalah bagi per­usahaan saya lantaran menerbitkan faktur pajak de­ngan tidak lengkap?
Sebelumnya terimakasih atas penjelasannya.

Herlina, Cakung, Jakarta

JAWABAN:
PASAL 4 ayat (3) huruf e Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) menyebutkan, yang dikecualikan dari objek pajak adalah pembayaran dari per­usahaan asuransi kepada orang pribadi. Pembayaran klaim itu terkait dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa. Sedang untuk penggantian dari asuransi kerugian, itu tidak termasuk yang dikecualikan dari  objek pajak penghasilan.
Cuma, kalau stok barang dagangan yang mengalami kerusakan akibat kebanjiran diasuransikan dan dapat penggantian lebih kecil dibanding nilai keru­gian, maka atas selisih tersebut bisa dibebankan sebagai keru­gian. Sebaliknya jika mendapat penggantian lebih besar ketimbang nilai kerugian, selisih itu diakui sebagai pendapatan.
Menjawab pertanyaan kedua mengenai transaksi penjualan dengan pembeli yang tidak punya NPWP, aturan mainnya tertuang dalam Pasal 13 ayat (5) UU No. 42/2009 tentang Pa­jak Pertambahan Nilai dan Pa­jak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). Menurut beleid ini, keterangan yang wajib dicantumkan dalam fak­tur pajak adalah: pertama, nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan barang kena pa­jak atau jasa kena pajak. Kedua, nama, alamat, dan NPWP pem­beli barang kena pajak atau penerima jasa kena pajak.

Korupsi Terstruktur, Sistematis, Masif

Mengikuti berita penetapan Jero Wacik, Menteri ESDM merangkap petinggi Partai Demokrat, sebagai tersangka, muncul debat apakah korupsi Jero Wacik itu struktural, atau kultural (kerakusan pribadi). Sebetulnya mendalami curhat Rudi Rubiandini yang ditayangkan di televisi berulang kali menyatakan bahwa tak sepeser pun uang dipakai untuk pribadi dan keluarga. Mantan Kepala SKK Migas itu malah sering mudik bersama keluarga naik kereta ekonomi biasa, bukan kelas eksekutif. Tapi memang penampilan sederhana "berlagak miskin" merupakan "teladan panutan" para pejabat yang mendeklarasikan kekayaan bawah realitas harta yang mereka miliki.

Publik tertawa dan Wagub A Hok pa­ling sering melontarkan sinisme bahwa Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara itu mestinya diaudit dan ditelusuri. Kebanyakan pejabat mengklaim memperoleh hibah dari orangtua, mertua, nenek moyang leluhur bupati zaman Hindia Belanda. Setelah lapor, tidak ada auditor akuntan yang memeriksa, juga tidak ada petugas pajak yang meng-asses. Jadi la­poran itu benda mati yang juga tidak sesuai dengan realitas. Tidak ada mekanisme supervisi dan.evaluasi serta justifikasi dan legitimasi dari LHKPN. Kata kunci terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dipopulerkan oleh capres Prabowo ketika menggugat pilpres 2014 sebetulnya paling tepat ditujukan kepada KPU dan seluruh elite politik In­donesia untuk menuntaskan TSM di sektor KKN yang telah merambah bagaikan kanker di seluruh lini. Bersama Nono Makarim, saya menyusun makalah ketika mengikuti seleksi calon pimpinan KPK 2007. Saya sampai di 22 besar dan mengusulkan tiga undang undang. Pertama, UU amnesti berpenalti, para penyeleng­gara negara diberi peluang untuk melakukan pemutihan dan pengampunan harta kekayaan dengan menyetor sekian persen untuk pajak pemutih kekayaan. Dalam tempo setahun penyelenggara negara yang tidak melaksanakan pemu­tihan akan dikenai UU Pembuktian Terbalik. Misalnya Gayus, gaji 15 juta sebulan. Mestinya kalau rajin menabung mungkin bisa Rp lO juta sebulan, setahun hanya Rp 120 juta. Kalau 10 tahun hanya Rp 1,2 miliar.

Tapi kalau dalam 5 tahun sudah punya belasan miliar bahkan puluhan miliar di tabungan, maka semua harta tersebut boleh langsung disita. Bahkan jika mengaku berbisnis juga melanggar ketentuan pegawai negeri sipil yang tidak boleh berdagang. Tapi yang terjadi ialah memperdagangkan, mengomersialkan jabatan untuk menjual tandatangan, lisensi, atau kemudahan untuk pengusaha dan masyarakat. Semua itu adalah bagian dari KKN yang TSM. Jabatan publik, penyelenggara negara adalah produsen atau industri perizinan yang menjadi inti core business dari rent seeking bureaucracy (birokrat pemburu rente) yang memanfaatkan jabatan untuk memperoleh imbalan langsung

Di negara maju ada korupsi

Selain UU Amnesti Berpenalti dan UU Pembuktian Terbalik, perlu ada UU Anti Konflik Kepentingan, pengusaha yang memasuki politik menjadi pengusaha, penguasa merangkap pengusaha harus mengampukan, menyerahkan manajemen aset bisnisnya, kepada blind trust management independen (pengampuan,trustee).

PPN atas Sewa Bangunan


PERTANYAAN:

Saya seorang notaris/pejabat pembuat akta tanah (PPAT) yang terdaftar sebagai wajib pajak dan berstatus pengusaha kena pajak (PKP). Saya pun memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas pekerjaan pokok saya, yakni pembuatan akta notaris atau PPAT.
Lalu, istri saya adalah ibu rumahtangga dan memiliki sebuah bangunan yang disewakan kepada pihak lain. Atas harga sewa bangunan itu kena pajak penghasilan (PPh) final sebesar 10% dan disetor oleh istri dengan memakai nomor pokok wajib pajak (NPWP) saya.
Pertanyaan saya, apakah harga sewa tersebut juga kena PPN? Sebab, bangunan yang disewakan itu bukan barang modal dan penyewaan tersebut bukan merupakan usaha pokok saya.
Demikian pertanyaan saya, mohon pencerahannya.

Hans Tantular Trenggono, Jakarta

JAWABAN:

SEBELUMNYA kami jelaskan terlebih dahulu pengertian subjek PPN. Menurut Undang-Undang (UU) Nomor 42 Tahun , 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai, subjek PPN adalah PKP yang melakukan penyerahan barang atau jasa kena pajak.
Sedangkan objek PPN sesuai Pasal 4 UU PPN adalah: pertama, penyerahan barang atau jasa kena pajak di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha. Kedua, impor ba­rang kena pajak. Ketiga, pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean. Keempat, ekspor barang berwujud dan tidak berwujud, serta jasa kena pajak oleh PKP.
Tapi, penyerahan barang dan jasa tersebut harus memenuhi syarat: pertama, barang berwu­jud dan tidak berwujud yang diserahkan merupakan parang kena pajak.
Kedua, penyerahan dilaku­kan di dalam daerah pabean dan dalam rangka kegiatan usa­ha atau pekerjaannya termasuk dalam pengertian penyerahan Jasa kena pajak. Yang dimaksud penyerahan jasa kena pajak ialah jasa kena pajak yang dimanfaatkan untuk kepentingan sendiri atau yang diberikan secara cuma-cuma.

Mengantisipasi Dampak Putusan MA

Permohonan gugatan uji materi yang diajukan oleh Kadin terhadap seba­gian pasal Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2007 dikabulkan oleh Mahkamah Agung melalui Putusan No. 70/UHM/2013. Sejumlah barang hasil per­tanian akhirnya dikeluarkan dari daftar barang strategis sehingga perlakuan PPN atas penyerahan atau impornya kembali mengikuti ketentuan UU PPN.

Melalui PP No. 12 Tahun 2001 yang terakhir diubah dengan PP No. 31 Tahun 2007, pemerintah menetapkan sejumlah Barang Kena Pajak (BKP) seperti barang modal, makanan ternak, barang hasil pertanian, bahan baku perak, bahan baku uang, dan lain-lainnya menjadi BKP Tertentu yang Bersifat Strategis. Penyerahan atau impornya sengaja dibebaskan dari PPN untuk memberikan kemudahan bagi para pengusaha menyediakan barang-barang tersebut sekaligus mengantisipasi ketidaksiapan sebagian pengusaha men­jadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dengan segala konsekwensinya.

Pembebasan PPN atas penyerahan barang strategis memang mengakibatkan pajak masukan atas perolehan barang tersebut tidak dapat dikreditkan dan hanya dapat dibiayakan dalam penghitungan PPh terutang.

Pembebasan PPN atas penyerahan suatu Barang Kena Pajak (BKP) dan larangan mengkreditkan pajak masukan merupakan sebuah perlakuan khusus atau pengecualian dari ketentuan umum UU PPN. Lazimnya, setiap penyerahan BKP harus dipungut PPN dan semua pa­jak masukan dapat dikreditkan.

Tujuan Kadin menarik sejumlah barang hasil pertanian dari daftar barang strate­gis adalah agar penyerahan barang ter­sebut tidak lagi mendapat fasilitas pem­bebasan PPN, melainkan terutang PPN. Dengan terutangnya PPN atas penyerahan BKP tersebut, pajak ma­sukannya juga akan bisa dikreditkan. Dengan demikian, dalam penarikan barang tersebut, dapat dikatakan bahwa Kadin memilih melaksanakan UU PPN secara murni dan konsisten. Makanya terasa aneh karena hal tersebut haras diselesaikan di meja MA. Logikanya, kalau Kadin mengutarakan keinginannya dengan baik-baik kepa­da pemerintah, pasti pemerin­tah merestui dengan senang hati. Pemerintahi tentu lebih memilih pelaksanaan UU PPN se­cara mumi dan konsisten daripada memberikan beberapa penge­cualian.
 

COINPOT

COINPOT