Ekspor Hasil Pertanian Bebas PPN

PERTANYAAN:
Perusahaan kami yang berbentuk perseroan terbatas (PT) memproduksi mi­nyak asiri. Yang kami dengar, produk-produk pertanian kena pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 10%, seperti biji, buah, dan bunga pala, lalu bunga, tangkai, serta dan cengkeh.
Pertanyaannya, kalau pro­duk-produk pertanian itu kami suling menjadi minyak asiri kemudian kami ekspor, apakah kena PPN 10%? lalu, kalau pro­duk-produk pertanian tersebut tidak disuling dan langsung diekspor, apa bebas PPN?
Terimakasih sebelumnya atas penjelasannya.

Yanti, Jakarta

JAWABAN:
MEMANG belum lama ini Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan putusan atas uji materi yang diajukan oleh Kamar Dagang dan Industri (Kadin) ter-
hadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomqr 31 Tahun 2007 tentang Impor dan Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari PPN. Putusan MA menyatakan, barang yang dihasilkan oleh kegiatan usaha di bidang perta­nian, perkebunan, dan kehutanan (barang kena pajak bersifat strategis) yang sebelumnya be­bas menjadi kena PPN.

'Banyak Negara Mengubah Struktur Kelembagaan Pajak'


Sepanjang 10 tahun masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia hanya dua kali mencapai target penerimaan pajak, yakni pada 2004 dan 2008. Kesalahan fundamental berasal dari pola pikir pemerintah mengabaikan peran pajak, padahal instrumen fiskal itu berkontribusi mencapai 70% terhadap penerimaan negara.
Pemerintahan baru perlu mengoptimalkan penerimaan pajak. Guna memberi pandangan terkait perpajakan kepada pemerintahan terpilih, Bisnis mewawancarai Pengamat Pajak Universitas Indonesia Danny Darussalam, berikut petikannya: 


Apa kendala pemerintah mengumpulkan pajak?

Pertama, ada yang salah dalam penghitungan penetapan target pajak. Pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya, sehingga selalu diubah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP). Selama ini masyarakat tidak pernah tahu cara penghitungan target pajak. Ke depan sudah sewajamya dipublikasikan agar dapat dikritisi dan jadi lebih realistis.

Kesalahan fundamental kedua, pemerin­tah sendiri belum sadar bahwa pajak itu krusial jadi tidak menempatkan lembaga pajak sesuai perannya. Terbukti dalam setiap kampanye calon presiden, jarang sekali ada yang menyinggung solusi memaksimalkan penerimaan pajak. Seakan-akan anggaran yang mau mereka gelontorkan itu given, ada begitu saja.

Terakhir, faktor eksternal dan internal. Ekstemal seperti krisis global yang sulit diatasi, sedangkan internal dari sisi kelembagaan Ditjen Pajak yang masih konvensional di bawah Kementerian Keuangan.

Apa dampak sistem kelembaqaan pajak yang konvensional?

Direktorat Jenderal Pajak tidak fleksibel dalam mengembangkan sumber daya manusia. Gambarannya, wajib pajak sudah mencapai 25 juta, sementara personel pengawas pajak hanya 31.000 orang, tidak berimbang. Data jumlah wajib pajak yang memasukkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pun terus menurun, dari 58% pada 2010, menjadi 53% pada 2011, dan terus merosot 41% dan 37% masing-masing pada 2012 dan 2013 lalu.
Selain itu, fidak ada keleluasaan mengatur anggaran, dan mengatur organisasinya sendiri. Perkembangan struktural Ditjen Pajak sangat lambat karena terbentur birokrasi. Banyak negara yang sudah mengubah struktur kelembagaan pajak menjadi Semi Autonomous Revenue Authority.

Manfaat perubahan struktur kelembagaan pajak menjadi badan semi independen?

Pemisahan lembaga pajak menjadi semi otonom akan mendorong fleksibilitas. Misalnya untuk menambah karyawan tidak perlu izin ke kementerian terkait, tetapi langsung saja merekrut. Bisa pula mengatur anggarannya sendiri.

Selama ini Ditjen Pajak tidak leluasa mengatur anggaran sendiri?

Di Indonesia, anggaran lembaga pajak tidak dikaitkan dengan jumlah perolehan pajak. Dalam struktur lembaga pajak modern di negara lain, anggaran ditetapkan sekian persen dari target pajak yang mampu mereka capai. Ada rencana setelah pemisahan badan penerimaan pajak, anggaran ditetapkan 1% dari target penerimaan, atau minimal Rp10 triliun. Artinya nilai itu dua kali lipat dari anggaran saat ini.

PK Sengketa Pajak ke MA


PERTANYAAN:

Perusahaan saya mengaju­kan banding ke Pengadilan Pajak, Tapi, hasil putusan banding dari Pengadilan Pa­jak hanya mengabulkan sebagian dari permohonan kami. Ada beberapa bukti dan alasan yang kami ajukan tidak diperhatikan.
Yang mau saya tanyakan, apakah putusan banding itu masih bisa diupayakan lagi ke Mahkamah Agung?
Mohon penjelasan dan terimakasih sebelumnya.

Anggi, Tangerang

JAWABAN:

UNDANG-UNDANG (UU) Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak menyatakan, Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan atas sengketa pajak. Menurut Pasal 77 ayat (3) beleid ini, pihak-pihak yang bersengketa bisa mengajukan peninjauan kembali (PK) terhadap putusan Pengadilan Pajak kepada Mah­kamah Agung (MA). PK merupakan upaya hukum terakhir yang bisa dilakukan oleh wajib pajak maupun Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak. Upaya hukum PK diajukan ke MA setelah ada putusan yang dikeluarkan Pengadilan Pajak. Artinya MA akan melakukan pemeriksaan ulang atas putus­an dari Pengadilan Pajak yang dimohonkan PK oleh wajib pa­jak atau Ditjen Pajak.

Tapi, sesuai Pasal 91 UU No. 14/ 2002, upaya PK hanya bisa diajukan dengan alasan-alasan tertentu, yaitu: pertama, bila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkara-nya diputus. Atau, didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu. Kedua, jika terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan. Dan, bukti ini kalau diketahui pada tahap persidangan di Pengadil­an Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda. Ketiga, kalau telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan c UU Pengadilan Pajak. Keempat, jika mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya. Kelima, jika terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

Pemeriksaan Pajak atas CV

PERTANYAAN:

Perusahaan tempat saya bekerja berbentuk CV. Kantor pajak melakukan pemerik­saan untuk tahun pa­jak 2010 dengan kode: menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Pro­ses pemeriksaan mulai 13 Juli 2012 dengan melakukan penyegelan serta peminjaman daftar buku, catatan, dan dokumen.
Pada 15 Oktober 2012 kami mendapat tanda terima yang menyebutkan: telah meminjamkan sebagian. Padahal, semua dokumen diminta pemeriksa pajak. Lalu, 9 Mei 2014 saya dipanggil melalui telepon (tidak lewat surat resmi) dan kami diberikan surat perintah peme­riksaan perubahan dalam rangka melanjutkan peme­riksaan pajak tertanggal 23 Desember 2013.
Kami dipanggil lagi 23 Mei 2014 dan tim pemeriksa memberikan surat pemerik­saan perubahan. Kali ini suratnya tertanggal 12 Mei 2014. Katanya, yang tertang­gal 23 Desember 2013 salah. Tim pemeriksa pajak juga sudah berubah tiga kali.
Saat kami menanyakan alasan melanjutkan peme­riksaan, tim pemeriksa terbaru mengatakan, mereka mengajukan pemeriksaan rekening koran melalui Bank Indonesia dan baru dapat datanya sekarang.
Yang ingin saya tanyakan, sebetulnya berapa lama waktu pemeriksaan terhadap wajib pajak badan berbentuk CV? Kalau waktunya sudah tidak memenuhi syarat atau kadaluwarsa karena sudah lebih dari dua tahun, apa yang mesti kami lakukan? Apa wajib pajak berhak menolak permintaan pemeriksaan perubahan?
Sebelumnya terimakasih atas penjelasannya.

Tria Kristiana,
Semarang

JAWABAN: 
 

Pentingnya Pengampunan Pajak

Indonesia telah dua kali melakukan pengampunan pajak, yakni pada 1964 dan 1984. Di samping itu, pada 2009 terdapat pemberian soft tax amnesty, yakni pengampunan untuk bunga dan sanksi perpajakan yang diatur dalam Pasal 37 A Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Jika pengampun­an pajak diberlakukan lagi pada tahun ini, perlu dipertimbangkan kepatuhan wajib pajak (WP) serta kemampuan aparatur perpajakannya.

Pada 1964, pengampunan pajak diatur dalam Penetapan Presiden No. 5/1964 tentang Peraturan Pengampunan Pajak. Saat itu, masih ada pajak kekayaan untuk orang pribadi. Diatur bahwa modal di masyarakat yang belum pernah dikenakan pajak perseroan, pajak pendapatan, dan pajak kekayaan yang didaftarkan ke instansi perpajak­an tidak diusut asal-usulnya. Pada saat pendaftaran, modal tersebut dikenai pungutan satu kali berupa tebusan sebe­sar 10 persen. Apabila modal pada saat didaftarkan telah ditanamkan dalam bidang usaha pertanian, perikanan, peternakan, pertambangan, perindustrian dan pengangkutan tebusannya sebesar 5 persen.

Pada 1983, pemerintah mengubah sistem perpajakan dari official assessment sys­tem menjadi self assessment system. Dalam sistem baru ini, wajib pajak menghitung, melaporkan, dan membayar pajaknya sendiri. Aparat perpajakan hanya memantau dan memeriksa hanya bila diperlukan. 

Pada 1984, diatur pengampunan pajak dalam Keputusan Presiden No 26/1984. Keppres terbit karena pelaksanaan self assessment system memerlukan pangkal tolak yang bersih yang dilandasi oleh kejujuran dan keterbukaan dari WP. Yang diberikan pengampun­an pajak adalah hampir seluruh pajak yang belum dibayar pada 1983 dan sebelumnya. Dalam ketentuan ini, tarif tebusan ditetapkan sebesar 10 persen dari jumlah kekayaan untuk WP yang belum memasukkan surat pemberitahuan pajak pendapatan atau pajak perseroan pada 1983 serta pajak kekayaan pada 1984. Bagi yang telah memasukkan surat pemberitahuan, besarnya tebusan adalah 1 persen.

Pembatalan Tagihan Pajak

PERTANYAAN:

Tahun 2010 lalu perusahaan kami diperiksa oleh kantor pajak. Hasilnya, kantor pajak mengeluarkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dan Surat Ta­gihan Pajak (STP) sesuai Pasal 14 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (UU KUP).
Perusahaan kami sudah mengajukan keberatan tapi ditolak. Kemudian, perusa­haan kami mengajukan ban­ding ke pengadilan pajak dan dikabulkan sebagian. Selain itu, perusahaan kami mengajukan permohonan pembatalan STP karena merupakan sanksi denda akibat koreksi pemeriksaan.
Tapi, putusan pengadilan pajak atas koreksi tersebut dibatalkan. Kami sudah mengajukan pembatalan STP yang pertama namun ditolak. Lalu, pengajuan ke-dua sampai dengan sekarang belum mendapatkani jawaban. Sudah satu tahun lebih belum ada jawaban.
Apa yang harus perusahaan kami lakukan?
Sebelumnya, terimakasih atas penjelasan.

Zulkifli, Tangerang

JAWABAN:

PASAL 36 ayat (1) huruf c UU KUP menyebutkan, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak bisa mengurangkan atawa membatalkan STP yang tidak benar. Menurut Pasal 36 ayat (1a), untuk permohonan atas pengurangan atau memba­talkan STP yang tidak benar bisa diajukan oleh wajib pajak paling banyak dua kali.
Mengenai batas waktu per­mohonan pengurangan atau pembatalan atas STP, Dirjen Pajak dalam jangka waktu pa­ling lama enam bulan sejak tanggal permohonan harus memberi keputusan. Bila jang­ka waktu telah melewati enam bulan tapi Dirjen Pajak tidak memberi suatu keputusan, maka permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan.
 

COINPOT

COINPOT