Urgensi Pengampunan Pajak

Darussalam, Managing Partner Danny Darussalam Tax Center (Bisnis Indonesia)

RUU Pengampunan Pajak diwarnai polemik yang tidak berkesudahan. Maju mundurnya pembahasan di DPR, pada awalnya, seputar perdebatan mengenai isu keadilan dan efektivitas penerimaan pajak yang bakal diraup.
Namun, dalam perjalanannya, perdebatan RUU Pengampunan Pajak melebar dari isu di atas. Untuk itu, tulisan ini mencoba mendudukkan kembali urgensi dan tujuan dari pengampunan pajak sebagai suatu kebijakan pajak yang sudah umum dilakukan oleh banyak negara.
Harus dipahami bahwa pengampunan pajak yang menjadi inisiasi pemerintah ini adalah bagian dari kebijakan yang tidak terpisahkan dari reformasi pajak secara menyeluruh.
Bingkai reformasi pajak ini mencakup revisi UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, serta UU Ketentuan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Urgensi atas reformasi pajak secara menyeluruh ini berangkat dari situasi sektor pajak yang bisa dikatakan kurang menggembirakan. Salah satunya jika ditinjau dari tingkat kepatuhan wajib pajak di Indonesia yang sangat rendah, dari tahun ke tahun tingkat kepatuhan wajib pajak dalam menyampaikan SPT terus menurun.
Pada 2013, hanya sekitar 37% dari kelompok wajib menyampaikan SPT yang melaporkan SPT mereka. Angka persentase yang rendah tersebut belum melihat aspek kebenaran materialnya.
Sajian angka persentase tersebut memperlihatkan bahwa pundi-pundi pajak hanya ditopang oleh sebagian kecil masyarakat. Atau dengan kata lain, wajib pajak yang berpartisipasi hanya itu-itu saja.
Berbagai negara yang telah melaksanakan kebijakan pengampunan pajak, pada umumnya berangkat dari upaya untuk meningkatkan kepatuhan jangka panjang.

Meraih Asa Pengampunan Pajak

Upaya pemerintah untuk mengefektifkan pengeluaran pemerintah ke arah pengeluaran yang lebih produktif diimbangi dengan upaya memperoleh pendapatan dari sektor pajak.
Target penerimaan pajak dalam APBN 2015 meningkat 31% dibanding APBN 2014, yang diasumsikan akan diperoleh dari bertambahnya jumlah pembayar pajak. Pemerintah bahkan mencanangkan pada 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak, sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak di tengah kondisi masih rendahnya tax ratio dan masih ada wajib pajak yang belum tersentuh.
Kepatuhan penduduk Indonesia dalam membayar pajak memang masih sangat rendah. Dari 240 juta lebih penduduk Indonesia, jumlah wajib pajak yang terdaftar masih kurang dari 30 juta orang (atau hanya sekitar 11% dari total penduduk Indonesia). Dari jumlahtersebut, hanya sepertiganya yang melaporkan SPT PPh 2015 atau kurang dari 10 juta penduduk.
Sistem perpajakan yang bersifat worldwide income (semua jenis pendapatan akan dipajaki) dan tarif pajak yang lebih tinggi dari negara tetangga (tarif pajak Indonesia 25%, sementara Singapura hanya 17% dan Thailand sebesar 23%) juga menjadi pendorong orang untuk menghindari pembayaran pajak di Indonesia.
Karena itulah, rasio pajak terhadap PDB tidak pernah melebihi 12% dalam empat belas tahun terakhir, di bawah Malaysia dan Thailand yang di atas 16%, dan jauh di bawah Belgia dan Inggris yang di kisaran 25% dari PDB. Rendahnya penerimaan pajak dibanding potensinya sebenarnya bukan hanya terjadi di negara berkembang, melainkan juga terjadi di negara maju.
Hal ini tidak hanya disebabkan oleh rendahnya law enforcement di bidang perpajakan, namun juga disebabkan oleh masih besarnya underground-economy, dan adanya dana masyarakat yang disimpan di luar negeri. Elliot Uchitelle dalam tulisannya yang berjudul The Effectiveness of Tax Amnesty Programs in Selected Countries mengatakan bahwa setidaknya underground-economy di Italia mencapai 20% dari PDB setiap tahunnya, sementara di Amerika Serikat diperkirakan mencapai USD2 triliun.

Arah Pengampunan Pajak

Yustinus Prastowo ; Direktur Eksekutif
Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA), Jakarta
KOMPAS, 26 Februari 2016


Setelah Presiden Joko Widodo dan pimpinan DPR menyepakati penundaan pembahasan revisi Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, kini giliran Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak menuai kontroversi. Muncul sinyalemen bahwa DPR akan menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan konsekuensi pengesahannya pun molor dari rencana awal.
Alasan yang dikemukakan cukup beragam, mulai dari perlunya sosialisasi, belum mendesak, kesiapan pemerintah, hingga aspek keadilan. Tanpa mengurangi pentingnya pro dan kontra terkait ide pengampunan pajak, tulisan ini ingin meletakkan diskursus pengampunan pajak dalam konteks reformasi perpajakan yang lebih luas. Keengganan masuk ke lapis problematik terdalam berpotensi mengaburkan tantangan yang sesungguhnya.

Kondisi perpajakan Indonesia
Kondisi perpajakan Indonesia masih jauh dari memuaskan. Meski kontribusi penerimaan pajak terhadap pendapatan negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai 70 persen, belum tampak perhatian yang memadai terhadap pentingnya reformasi perpajakan yang komprehensif dan substansial. Bahkan, reformasi perpajakan terkesan mandek tanpa kemajuan berarti.
Belum optimalnya penerimaan pajak, yang salah satunya tecermin dari stagnasi rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (tax ratio) di kisaran 10-11 persen, semakin ironis jika dihadapkan pada hamparan data yang mencengangkan. McKinsey & Company pernah melansir data, setidaknya terdapat 300 miliar dollar AS aset warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri. Temuan hampir sama diperoleh Tax Justice Network (2010) yang mencatat sekitar 330 miliar dollar AS aset milik warga negara Indonesia ditempatkan di negara-negara suaka pajak (tax haven).
Dan belum lama, Perkumpulan Prakarsa merilis hasil riset yang menunjukkan aliran dana haram ke luar negeri pada kurun waktu 2010-2014 mencapai Rp 914 triliun. Tak sekadar menggurita, kekayaan itu juga terakumulasi pada segelintir orang. Bank Dunia dalam laporan terbarunya menyatakan, 1 persen orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional. Pada akhir 2015, simpanan di atas Rp 2 miliar mencapai Rp 2.428 triliun atau 54,28 persen dari total simpanan dan hanya dimiliki 0,13 persen atau 231.572 rekening, demikian laporan Lembaga Penjamin Simpanan.
 

COINPOT

COINPOT