Optimalisasi Database Email DJP Untuk Peningkatan Layanan dan Kepatuhan Wajib Pajak



Oleh: Muhammad Mustakim, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber : Website DJP
Bagaimana cara meningkatkan kepatuhan wajib pajak baik kepatuhan formil maupun kepatuhan materil? Bagaimana mengantisipasi efek bonus demografi terhadap pertumbuhan jumlah wajib pajak yang mayoritas adalah usia muda? Apakah ada kanal alternatif penyaluran informasi perpajakan yang dapat secara efektif dan efisien menjangkau wajib pajak sekaligus meningkatkan layanan DJP? Bagaimana mengantisipasi tren layanan DJP ke depan yang berbasis online?
Pertanyaan-pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat menarik untuk dibahas mengingat pertanyaan tersebut terkait dengan target penerimaan yang dibebankan di samping pengembangan layanan yang dapat berpengaruh terhadap engagement wajib pajak kepada DJP. Penulis menganggap bahwa salah satu solusi alternatif untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas adalah dengan menggunakan dan memaksimalkan database email yang ada di DJP. Secara umum, ada dua faktor pendukung yang dapat menjelaskan mengapa DJP membutuhkan layanan email serta mengapa penggunaan email adalah merupakan solusi alternatif yang dapat menjawab kebutuhan DJP akan layanan yang efektif dan efisien yang dapat memberi dampak signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.   
Faktor Internal
1.    Target Kepatuhan Wajib Pajak yang Sangat Sulit Tercapai
Meningkatkan kepatuhan pajak adalah salah satu strategi utama yang diterapkan oleh otoritas pajak untuk meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak. Indonesia sebagai salah satu negara yang sumber penerimaan terbesarnya berasal dari pajak turut menghadapi permasalahan yang terkait kepatuhan wajib pajak. Salah satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kepatuhan wajib pajak adalah dengan menggunakan data penyampaian SPT Tahunan oleh wajib pajak tersebut. Apabila menggunakan data beberapa tahun terakhir, maka meskipun ada tren peningkatan kepatuhan wajib pajak, realisasinya masih jauh di bawah target yang ditetapkan. Untuk tahun pelaporan 2015, secara total dari 17,37 juta wajib pajak yang wajib menyampaikan SPT, hanya sekitar 10,52 juta wajib pajak yang menyampaikan SPT Tahunannya (60,60%) dari target yang ditetapkan sebesar 70,00%. Hal ini mengindikasikan bahwa strategi dan kebijakan yang dilaksanakan oleh DJP saat ini sudah memberi pengaruh yang positif terhadap perkembangan kepatuhan wajib pajak. Namun, dengan mengasumsikan bahwa perkembangan ini adalah fungsi linear, maka dibutuhkan periode yang cukup lama untuk mencapai target kepatuhan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, diperlukan strategi tambahan yang diharapkan mampu meningkatkan angka kepatuhan wajib pajak sehingga target kepatuhan wajib pajak dapat dipercepat dan secara tidak langsung dapat meningkatkan jumlah penerimaan pajak.

Perlukah istri yang bekerja memiliki NPWP sendiri ?



 Anggrainy (pegawai pada Direktorat Jenderal Pajak)

Sumber : Website DJP


Banyak pengamat dan akademisi perpajakan yang berpendapat bahwa tax ratio Indonesia termasuk buruk diakibatkan rendahnya tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Salah satu indikatornya adalah rendahnya tax coverage (jumlah WP orang pribadi terdaftar dibandingkan dengan jumlah rumah tangga) yang hanya mencapai 42,75%. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak terus gencar menghimbau masyarakat untuk terus ber-NPWP. Pada akhir tahun 2015, hasil ekstensifikasi basis pajak tersebut diperkirakan telah mencapai 30 juta NPWP. Dari segi administrasi, jumlah ini sangat besar (meskipun secara persentase sangat kecil) sehingga dibutuhkan sumber daya yang ekstra besar untuk melakukan pengawasan seluruh Wajib Pajak.
Salah satu sasaran mudah untuk diberikan NPWP adalah karyawan, mengingat adanya ketentuan bahwa jika karyawan tidak ber-NPWP maka akan dikenakan tarif Pajak Penghasilan 20% lebih tinggi dibandingkan karyawan yang ber-NPWP. Pada akhirnya, tingkat kesadaran masyarakat terhadap pajak menjadi meningkat yang diikuti dengan timbulnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pembebanan pajak. Salah satunya adalah pembebanan pajak terhadap karyawati yang berstatus sebagai istri dan memiliki NPWP sendiri. Setelah digabungkan dengan penghasilan suami, ternyata perhitungan pajak suami menjadi kurang bayar karena dikenakan tarif pajak progresif.  Bagaimana hal ini bisa terjadi ?

Bumerang Pengampunan Pajak

ANDREAS LAKO, GURU BESAR AKUNTANSI, KEPALA LPPM UNIKA SOEGIJAPRANATA SEMARANG (Kompas)
 
Keputusan DPR menunda pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak dengan alasan perlu waktu untuk mencermati naskah akademik dan draf RUU disesalkan banyak pihak. Pemerintah yang menginisiasi RUU tersebut kecewa karena penundaan itu bisa menyebabkan kerugian besar bagi negara dan kepercayaan masyarakat yang hendak melakukan pengampunan pajak menjadi rendah (Kompas, 26/2/2016).

Saya justru menilai sebaliknya. Keputusan itu seharusnya perlu diapresiasi. Alasannya, keputusan menyangkut perlu tidaknya regulasi pengampunan pajak harus dilakukan secara cermat dan bertanggung jawab agar tidak menimbulkan komplikasi masalah di kemudian hari. Sebagai lembaga tinggi negara pengemban aspirasi rakyat, DPR memang harus mencermati dan mempertimbangkan berbagai aspek kepentingan negara sebelum menyetujui suatu rancangan undang-undang (RUU)menjadi undang-undang (UU). Selain itu,permasalahan pengampunan pajak juga tidak hanya menyangkut aspek kepentingan penerimaan negara dan ketidakmampuan wajib pajak, tetapi juga menyangkut itikad buruk dan keperilakuan tak etis dari para wajib pajak. Oleh karena itu,penyelesaiannya bukan dengancara pengampunan, tetapi harus melalui penciptaan mekanisme sistem dan tata kelola perpajakan, atau melalui regulasi penegakan hukum yang akuntabel dan transparan. 
 
 

COINPOT

COINPOT