Anggrainy (pegawai pada Direktorat
Jenderal Pajak)
Sumber : Website DJP
Banyak
pengamat dan akademisi perpajakan yang berpendapat bahwa tax ratio Indonesia termasuk buruk diakibatkan rendahnya tingkat
kepatuhan Wajib Pajak. Salah satu indikatornya adalah rendahnya tax coverage (jumlah WP orang pribadi terdaftar
dibandingkan dengan jumlah rumah tangga) yang hanya mencapai 42,75%. Oleh
karena itu, Direktorat Jenderal Pajak terus gencar menghimbau masyarakat untuk
terus ber-NPWP. Pada akhir tahun 2015, hasil ekstensifikasi basis pajak
tersebut diperkirakan telah mencapai 30 juta NPWP. Dari segi administrasi,
jumlah ini sangat besar (meskipun secara persentase sangat kecil) sehingga
dibutuhkan sumber daya yang ekstra besar untuk melakukan pengawasan seluruh
Wajib Pajak.
Salah satu
sasaran mudah untuk diberikan NPWP adalah karyawan, mengingat adanya ketentuan
bahwa jika karyawan tidak ber-NPWP maka akan dikenakan tarif Pajak Penghasilan
20% lebih tinggi dibandingkan karyawan yang ber-NPWP. Pada akhirnya, tingkat
kesadaran masyarakat terhadap pajak menjadi meningkat yang diikuti dengan
timbulnya ketidakpuasan masyarakat terhadap pembebanan pajak. Salah satunya
adalah pembebanan pajak terhadap karyawati yang berstatus sebagai istri dan
memiliki NPWP sendiri. Setelah digabungkan dengan penghasilan suami, ternyata
perhitungan pajak suami menjadi kurang bayar karena dikenakan tarif pajak
progresif. Bagaimana hal ini bisa
terjadi ?
1.
Penghitungan Pajak Suami-Istri
Beda NPWP
Ketentuan pasal 8 ayat (2) Undang-Undang
Pajak Penghasilan (UU PPh) mengatur bahwa ketika suami-istri memilih untuk
hidup berpisah (berdasarkan putusan hakim) maka penghitungan Penghasilan Kena Pajak dan pengenaan pajak
dilakukan sendiri-sendiri. Sementara itu, ayat (3) mengatur bahwa jika
suami-istri mengadakan perjanjian pemisahan
harta dan penghasilan secara tertulis atau istri ingin melaksanakan sendiri hak
dan kewajibannya maka penghitungan pajaknya berdasarkan penghasilan neto suami isteri
digabung dan besaran pajak yang harus dibayar oleh masing-masing suami-isteri dihitung secara proporsional.
Hal ini berarti jika situasi tersebut terjadi (memiliki perjanjian tertulis pisah harta/penghasilan
atau istri ingin melaksanakan sendiri
hak dan kewajiban perpajakannya), maka dalam
penghitungan pajaknya dilakukan dengan menggabungkan penghasilan neto
suami-istri tersebut untuk kemudian besaran masing-masing pajak suami-istri
tersebut dihitung sesuai perbandingan penghasilan neto mereka.
Penggabungan penghasilan suami
istri tersebut, memiliki resiko yaitu pengenaan tarif pajak yang lebih besar atas
penghasilan gabungan suami-istri. Secara prinsip, Pajak Penghasilan bersifat progresif
yang berarti bahwa semakin besar penghasilan Wajib Pajak semakin besar pula
tarif pajaknya. Hal tersebut tercermin dalam ketentuan pasal 17 UU PPh yang
mengenakan tarif PPh sebesar 5%, 15%, 25% dan 30% untuk lapisan Penghasilan Kena Pajak tertentu. Sebagai ilustrasi
dapat digambarkan kasus sebagai berikut :
Suami-istri yang keduanya bekerja dan tidak
memiliki anak. Pada tahun 2015, Sang Suami memiliki penghasilan netto sebesar
Rp. 200.000.000,- dan istrinya memiliki penghasilan netto setahun Rp. 150.000.000,-.
Dalam hal istri memiliki NPWP sendiri dan ingin
melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya, maka penghitungan PPh terutangnya akan digabung
sbb. :
Penghasilan Netto Suami 200.000.000
Penghasilan Netto Istri 150.000.000
Total Penghasilan Netto 350.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/I/0)
75.000.000 (39.000.000 + 36.000.000)
Penghasilan Kena Pajak 275.000.000
PPh Terutang setahun ( 5% x 50.000.000) 2.500.000
. (15%
x 200.000.000) 30.000.000
. (25%
x 25.000.000) 6.250.000
Jumlah PPh gabungan 38.750.000
Jumlah PPh yang ditanggung oleh
suami sebesar (200.000.000/350.000.000) x 38.750.000 = Rp
22.142.857,-. Sedangkan PPh yang ditanggung oleh istri sebesar (150.000.000/
350.000.000) x 38.750.000 = Rp 16.607.143,-
2.
Keluarga Sebagai Satu Kesatuan Ekonomis
Sebenarnya UU PPh telah mengatur
secara jelas bahwa sistem pengenaan pajak Indonesia menempatkan keluarga
sebagai satu kesatuan ekonomis, yang berarti bahwa hanya satu Wajib Pajak (yaitu suami
sebagai kepala keluarga) yang
dikenai Pajak Penghasilan. Sebagai konsekuensi kewajiban perpajakan ada di suami sebagai kepala
keluarga, maka kewajiban ber-NPWP hanya ada pada suami. Oleh karena itu, penghasilan (atau kerugian) istri atau anak yang belum dewasa
dianggap sebagai penghasilan suami sebagai kepala keluarga yang mewakili
kewajiban sebagai Wajib Pajak atas keluarga tersebut. Hal ini berarti, penghasilan dan kerugian istri atau anak yang belum dewasa akan dianggap
sebagai penghasilan dan kerugian suami, sehingga dikenai pajak bersama. Akan
tetapi, jika penghasilan istri hanya diperoleh dari satu pemberi kerja dan tidak ada
hubungannya dengan usaha atau pekerjaan bebas suami, maka penghasilan tersebut tidak
akan digabung dengan penghasilan suami (dengan catatan penghasilan tersebut
telah dipotong pajak berdasarkan ketentuan PPh Pasal 21 UU PPh oleh pemberi kerja). Mekanisme
pelaporannya dalam Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan dikelompokkan ke dalam penghasilan yang dikenakan
PPh final dan/atau bersifat final.
Atas penghasilan mereka sudah di
potong pajak oleh pemberi kerja dengan perhitungan sebagai berikut:
a) Penghasilan Netto Suami 200.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0) 39.000.000
Penghasilan Kena Pajak 161.000.000
PPh Terutang setahun (5% x 50.000.000)
2.500.000
(15% x 111.000.000) 16.650.000
Jumlah
PPh yang dibayar oleh Suami 19.150.000
b) Penghasilan Netto Istri 150.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (sendiri)
36.000.000
Penghasilan Kena Pajak 114.000.000
PPh Terutang setahun (5% x 50.000.000) 2.500.000
(15% x 64.000.000) 9.600.000
Jumlah PPh yang dibayar oleh Suami 12.100.000
Jika PPh-nya dijumlahkan
diperoleh hasil sebesar Rp 19.150.000,- + Rp 12.100.000,- = Rp. 31.250.000,- atau lebih kecil jika dibandingkan dengan
hasil penghitungan pada skema 1.
3. Prinsip Keadilan
Dalam pemungutan pajak harus
memegang teguh asas
keadilan, yang berarti bahwa pajak haruslah adil
dan merata. Pajak dikenakan kepada orang-orang pribadi sebanding
dengan kemampuannya untuk membayar pajak tersebut dan juga sesuai dengan
manfaat yang diterimanya dari negara. Menurut
A.S. Finawati meskipun konsep keadilan sangat abstrak, namun cukup dapat
diterima secara umum bahwa “adil” tidaklah berarti kesamaan dalam segala
tindakan melainkan proporsional tergantung pada kebutuhannya. Jika
dikaitkan dengan ketentuan pasal 8 UU PPh, yang mengatur tentang pemungutan
pajak atas penghasilan orang pribadi, definisi tentang keadilan pajak
menjadi sangat multi intepretasi. Sebagai penjelasan lebih lanjut, perlu kita
kenal tentang keadilan vertikal dan keadilan horizontal.
A.
Keadilan vertikal
Terdapat dua isu dalam pemungutan pajak yang menyangkut masalah inequality yaitu perlakuan tak setara
terhadap perempuan (gender) dan ketidakadilan pembebanan pajak. Perjuangan
kesetaraan gender, yang diawali oleh gelombang gerakan feminisme di Eropa,
menuntut untuk mengubah unit pemajakan dari joint filling (digabung suami) menjadi lapor
sendiri (income splitting). Konsep joint filling dianggap berpotensi merugikan perempuan karena ketidakadilan gender (wanita
diberikan upah yang lebih rendah), tetapi dari sisi pajak dibebani lebih. Oleh
karena itu, terjadi pergeseran ide dari joint filling ke income splitting dan perempuan menuntut dapat melaporkan sendiri
pajaknya. Tujuannya adalah wanita harus dipersamakan setara secara hukum dan
konsep pemajakan merupakan representasi dari pengakuan kesetaraan gender dalam hukum.
Indonesia sendiri (UU PPh) baru memperkenalkan konsep keteraan gender
tersebut dalam UU PPh tahun 2008, tetapi pada dasarnya masih menganut garis
besar aliran keluarga sebagai satu kesatuan ekonomi dan joint filling. Pasal 8 ayat (1) masih menganut marital
aggregation (penggabungan istri ke suami). Wanita kawin ini harus
menggabungkan penghasilan dengan suami
untuk dihitung PPh gabungan dan dipisah secara proporsional. Dilihat dari sisi keadilan vertikal terlihat
sepertinya kurang adil karena akibat penggabungan menyebabkan terkena tarif
progresif yang lebih tinggi.
B.
Keadilan horizontal
Seperti
telah disebutkan bahwa konsep keadilan bersifat absurd, sehingga dalam ekonomi
lebih meyakini konsep fair (dibandingkan justice). Keadilan
tidak bisa hanya dilihat secara vertikal saja namun horizontal. Artinya, jika dalam
satu keluarga hanya satu sumber penghasilan hanya satu pihak saja yang bekerja
(one breadwinner, misalkan hanya suami saja yang memperoleh penghasilan) maka
pihak ini tidak diuntungkan karena hanya diperbolehkan memperhitungkan satu Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) saja. Dalam kasus di atas, misalnya
sang suami bekerja dengan penghasilan netto setahun sebesar Rp 350.000.000,-
dan istri tidak bekerja maka penghitungan PPh-nya adalah sebagai berikut :
Penghasilan Netto Suami 350.000.000
Penghasilan Tidak Kena Pajak (K/0)
39.000.000
Penghasilan Kena Pajak 311.000.000
PPh Terutang setahun ( 5% x 50.000.000) 2.500.000
. (15%
x 200.000.000) 30.000.000
. (25% x 61.000.000)
15.250.000
Jumlah PPh yang dibayar 47.750.000
Dalam kasus di atas , berarti
dengan total Penghasilan Kena Pajak
yang sama, maka akan dikenai lapisan tarif yang sama juga. Jika digunakan konsep keadilan (justice) seharusnya jumlah pajak yang
dibayarkan sama atau tidak lebih besar dibandingkan skema 1 atau 2.
4. Kesimpulan
Ketentuan perpajakan di
Indonesia memberikan perlakuan khusus untuk istri yang bekerja, dalam bentuk penghasilan yang telah
dipotong PPh Pasal 21 diperlakukan sebagai final dan tidak perlu digabungkan dengan penghasilan suami.
Ini merupakan bentuk penghargaan bagi wanita yang bekerja karena
akan menghasilkan pembebanan pajak yang paling minimal. Terlepas dari
permasalahan keadilan pajak, ketentuan perpajakan di Indonesia telah memberikan
beberapa alternatif dan cukup mengakomodir perkembangan dinamika masyarakat
dewasa ini. Hasil simulasi membuktikan bahwa istri yang memperoleh penghasilan
dari satu pemberi kerja dan penghasilannya sudah dipotong PPh Pasal 21,
disarankan sebaiknya menggunakan NPWP suami. Dengan demikian, jika karyawati
telah memiliki NPWP sebelum menikah, maka sebaiknya mengajukan penghapusan
NPWP.
0 comments:
Post a Comment