Oleh Moh Makhfal Nasirudin, Pegawai Direktorat Jenderal Pajak
Sumber : website pajak
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk:
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai berikut:
Sumber : website pajak
Bila kita cermati akhir-akhir ini, sering kita lihat di media cetak ataupun media internet (utamanya situs www.pajak.go.id)
pengumuman tentang perusahaan yang telah dicabut status Pengusaha Kena
Pajaknya (PKP). Apa itu Pengusaha Kena Pajak? Apa konsekuensi hukum dari
dicabutnya PKP? Kenapa mesti diumumkan?
Pengusaha Kena Pajak
Pengusaha Kena Pajak menurut Undang-Undang (UU)
Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah
pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) yang dikenai pajak berdasarkan Undang
Undang Pajak Pertambahan Nilai. Jadi, bisa kita simpulkan bahwa
Pengusaha Kena Pajak adalah Subyek dari Pajak Pertambahan Nilai. Artinya
bahwa pengusaha tersebut harus memungut PPN ketika melakukan penyerahan
Barang dan/atau Jasa berdasarkan UU dikenakan pajak (dalam hal ini
Pajak Pertambahan Nilai). Namun demikian, tidak semua pengusaha
mempunyai kewajiban tersebut. Pengusaha Kecil dibebaskan dari kewajiban
tersebut.
Yang dimaksud dengan Pengusaha Kecil adalah
pengusaha yang selama satu tahun buku melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dengan jumlah peredaran bruto dan/atau
penerimaan bruto tidak lebih dari Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah). Jumlah tersebut adalah jumlah keseluruhan penyerahan BKP
dan/atau JKP yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
kegiatan usahanya. Sebagai contoh, perhatikan ilustrasi di bawah ini.
PT ABC adalah perusahaan yang mempunyai toko buku
yang memperjualbelikan alat tulis kantor dan buku-buku pelajaran
sekolah. Perusahaan itu didirikan tahun 2010. Ditahun 2010 tersebut,
peredaran bruto Perusahaan mencapai Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta
rupiah). Berdasarkan batasan tersebut di atas, PT ABC masih tergolong
Pengusaha Kecil dan tidak berkewajiban untuk memungut PPN.
Di tahun 2011, penjualan PT ABC dari toko bukunya
sebesar Rp 520.000.000,00 (lima ratus dua puluh juta rupiah). Karena
kemajuan usahanya PT ABC bermaksud mengganti mobil perusahaan yang
selama ini dipergunakan oleh Pemegang Sahamnya. Mobil lamanya tersebut
dijual seharga Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Bila kita lihat secara keseluruhan peredaran bruto
PT ABC di tahun 2011 sebesar 620.000.000,00 (enam ratus dua puluh juta
rupiah). Dengan peredaran bruto sebesar tersebut, PT ABC bukan lagi
merupakan Pengusaha Kecil. Namun demikian karena omset sebesar Rp
100.000.000,00 (seratus juta rupiah) bukan merupakan penyerahan yang
dilakukan oleh pengusaha dalam rangka kegiatan usahanya, maka PT ABC
pada tahun 2011 tetap berhak menyandang nama Pengusaha Kecil, kecuali PT
ABC mendaftarkan diri sebagai Pengusaha Kena Pajak.
Hak dan Kewajiban Pengusaha Kena Pajak
Sebagai Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, PT ABC mempunyai kewajiban untuk :
- memungut,
- menyetor, dan
- melaporkan
Selain kewajiban tersebut, PT ABC mempunyai hak untuk:
- mengkreditkan PPN yang dipungut oleh suppliernya
- memperoleh kembali (restitusi) ataupun mengkompensasikan kelebihan pajak yang telah dipungut oleh suppliernya dalam hal pajak yang dipungut suppliernya lebih besar dari pajak yang telah PT ABC pungut dari konsumennya.
Untuk memenuhi stok barang dagangnya, PT ABC membeli ATK ke beberapa supplier, diantaranya PT XYZ (Pengusaha Kena Pajak juga).
Pada bulan Januari 2011 total transaksi kedua Perusahaan tersebut sebagai berikut:
- PT ABC membeli Alat Tulis Kantor “hanya” dari PT XYZ sebesar Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
- PT ABC melakukan penjualan ke pembeli langsung sebesar Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)
-
PT XYZ menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya kepada PT ABC. PT ABC dipungut PPN sebesar Rp 1.000.000,00.
Faktur Pajak ini mempunyai dua fungsi yang berbeda:- Bagi PT XYZ faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran;
- Sedangkan bagi PT ABC, faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Masukan.
-
PT ABC menerbitkan Faktur Pajak atas penjualannya ke Konsumen Langsung dengan memunut PPN sebesar Rp 1.500.000,00:
- Bagi PT ABC faktur pajak ini merupakan Faktur Pajak Keluaran; dan
- Bagi Konsumen Langsung PT ABC, Faktur Pajak tersebut merupaka Faktur Pajak Masukan.
-
PT ABC kemudian akan menyetor dan melaporkan PPN sebagai berikut:
Atas Penjualan Januari 2011 (Total Faktur Pajak Keluaran) 1.500.000,00
Atas Pembelian Januari 2011 (Total Faktur Pajak Masukan) 1.000.000,00
PPN yang masih harus disetor sebesar 500.000,00
Proses Pengurangan Faktur Pajak Masukan yang di peroleh dari PT XYZ di atas disebut Pengkreditan Pajak Masukan. - Sejumlah Rp 500.000,00 tersebut di atas, harus disetorkan oleh PT ABC ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
Bila berdasarkan Konfirmasi Lapangan, diketahui data Wajib
Pajak/Pengusaha Kena Pajak terbukti tidak benar, alamat tidak ditemukan
misalnya, maka pihak Direktorat Jenderal Pajak akan menerbitkan Surat
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Konsekuensi hukum dari Pencabutan Pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak adalah Faktur Pajak yang telah diterbitkan atas
penjualan/penyerahan barang dan/atau jasa oleh pengusaha tersebut, tidak
dapat dikreditkan oleh pihak yang membeli. Dalam contoh di atas,
apabila PT XYZ karena suatu dan lain hal dicabut statusnya sebagai
Pengusaha Kena Pajak, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PT XYZ
tidak dapat dipergunakan sebagai kredit pajak (pengurang) atas PPN yang
harus disetor oleh PT ABC. Artinya, PT ABC harus menyetor PPN sebesar
Total Faktur Pajak Keluaran, yaitu Rp 1.500.000,00.
Konsekuensi hukum di atas dapat bertambah. Dengan
tetap memakai ilustrasi di atas, kita misalkan Direktorat Jenderal Pajak
sedang mengadakan pemeriksaan terhadap kewajiban perpajakan khususnya
PPN bulan Januari 2011 terhadap PT ABC. Berdasarkan hasil pemeriksaan
tersebut diketahui bahwa PT XYZ ternyata telah dicabut statusnya sebagai
Pengusaha Kena Pajak. Sehingga Faktur Pajak dari PT XYZ tidak diakui
dan tidak dapat dijadikan sebagai kredit pajak oleh PT ABC. Akibatnya,
PT ABC diharuskan membayar (lagi) sebesar Rp 1.500.000,00 plus sanksi
perpajakannya. Selain sanksi tersebut, terhadap PT ABC juga dapat
dikenakan terseret ke arah hukum pidana bila di kemudian hari PT XYZ
terbukti melakukan tindak pidana pemalsuan faktur pajak (faktur fiktif).
Mengingat beratnya konsekuensi hukum dari
dicabutnya status Pengusaha Kena Pajak bagi para pelaku usaha, perlu
kiranya kita mencermati daftar Pengusaha Kena Pajak yang telah dicabut
statusnya sebagai Pengusaha Kena Pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.
0 comments:
Post a Comment