WAWANCARA FUAD RAHMANY, DIREKTUR JENDERAL PAJAK : KAMI DIBIARKAN TETAP KECIL

KABAR dari seberang telepon membuat suara Fuad Rahmany agak meninggi. "Makanya kalian undang saya dong agar saya bisa menjelaskan bahwa masalah ini penting," kata Direktur Jenderal Pajak tersebut. Malam itu, Senin dua pekan lalu, seorang anggota par- lemen mengabarkan bahwa Panitia Kerja Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat sedang menuntaskan pembahasan awal Rancangan Undang-Undang Perbankan. Hasilnya, Panitia Kerja menyepakati data rekening perbankan bisa dimanfaatkan Direktorat Jende­ral Pajak untuk kepentingan pemeriksaan.

Sekilas, revisi undang-undang yang diusulkan Dewan tersebut bakal memberi angin segar bagi otoritas pajak. Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan sebenarnya telah mengatur soal pemanfaatan data perbankan untuk kepentingan perpajakan. Namun pemeriksa pajak tak serta-merta bisa menerapkannya karena Undang-Undang Perbankan lama menjamin kerahasiaan data per­bankan. Praktis, kantor pajak hanya bisa memanfaatkan data per­bankan ketika mengusut dugaan pidana.
Fuad pun tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Kalau pemanfaatan data perbankan hanya pada tahap pemeriksaan, artinya ruang kepentingan perpajakan dipersempit," ucapnya kepada Tempo setelah menutup telepon. Menurut dia, sejak dulu Direk­torat Jenderal Pajak mengusulkan pemantaatan rekening bank un­tuk kepentingan perpajakan tak dibatasi pada urusan pemeriksa­an, tapi juga bisa dimulai buat menggali potensi penerimaan. "Tanpa itu, kita sulit menggenjot tax ratio."

Selama ini Direktorat Jenderal Pajak dihujani kritik karena rasio pajak terhadap produk domestik bruto tak pernah bergeser dari kisaran 12 persen. Belum lagi, selama kepemimpinan Fuad, kan­tor pajak mencetak hat-trick: tiga tahun berturut-turut tak mampu mencapai target penerimaan negara. Tahun lalu realisasi peneri­maan pajak hanya Rp 916,2 triliun atau 92,06 persen dari target Rp 995,2 triliun. Beban Fuad semakin berat menjelang masa persiap-an pensiun pertengahan tahun ini karena Direktorat Jenderal Pa­jak ditargetkan menyumbang sebesar Rp 1.142 triliun, hampir 70 persen dari total pendapatan negara. Di tengah kesibukannya, Fuad menerima wartawan Tempo Agoeng Wijaya, Wahyu Dhyatmika, Budi Riza, dan Sukma N. Lop-pies di kantornya di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, dua pe­kan lalu. Dengan intonasi suara yang naik-turun, dia mengeluhkan tingginya tuntutan publik atas kinerja Direktorat Jenderal Pajak. "Tapi kami dibiarkan tetap kecil," ujarnya.

Mengapa Anda ngotot meminta rekening bank dibuka untuk kepentingan pajak?

Bagi kami, ini masalah serius. Saya malu kalau sedang berkumpul dengan perwakilan negara-negara Organization for Eco­nomic Cooperation and Development. In­donesia satu-satunya negara yang tidak berani membuka rekening bank untuk pajaknya. Bahkan Amerika Serikat, yang katanya negara paling kapitalistis sedunia, menerapkannya.

Bagaimana Amerika Serikat mengatur urusan pemanfaatan data perbankan untuk kepentingan pajak?

Mereka punya FATCA, Foreign Account Tax Compliance Act, semacam undang-undang tentang kepatuhan pajak pada reke­ning warga negara mereka di luar negeri. Jadi, di sana, anytime otoritas pajak tak hanya bisa membuka rekening bank masyarakatnya di dalam negeri, tapi juga di ne­gara lain. Termasuk mereka bisa memaksa Indonesia membuka data rekening bank warga negara Amerika Serikat di sini.

Apa yang hendak dikejar Direktorat Jenderal Pajak dari rekening bank wajib pajak itu?

Anda tahu mengapa tax ratio Indonesia enggak bisa tinggi? Karena hampir 70 per­sen dari seluruh transaksi ekonomi di ne­geri ini belum bayar pajak. Berapa banyak orang, termasuk yang kaya raya itu, yang belum bayar pajak? Jutaan orang. Individu yang bayar pajak di Indonesia itu bam 30 persen, masih ada 70 persen belum bayar. Angkanya bukan lagi puluhan, melainkan ratusan triliun rupiah.

Apakah tidak cukup memanfaatkan reke­ning bank pada tahap pemeriksaan pajak?

Masak, kami harus menunggu ada pe­meriksaan baru bisa memperoleh data re­kening bank milik wajib pajak? Pemeriksa­an juga kan tidak datang ujuk-ujuk, tapi ha­rus ada dasarnya. Nah, makanya rekening bank itulah yang seharusnya bisa menjadi dasar dilakukannya pemeriksaan. Seha­rusnya begitu, jangan dibalik.

Bisakah Anda gambarkan seberapa besar potensi penerimaan pajak jika kantor pajak bisa memanfaatkan data perbankan?

Jumlah rekening bank kan ada sekitar 20 juta. Tidak mungkin kami memantau semuanya. Lembaga Penjamin Simpanan pernah merilis, duit pengusaha pemilik re­kening di Indonesia ini mencapai Rp 3.500 triliun. Sebanyak 50 persen dikuasai oleh 180 rekening dengan jumlah dana simpa­nan di atas Rp 2 miliar. Cukup itu saja yang kami buka. Mungkin dari situ kami bisa melihat pemilik tambang dan pengusaha lainnya yang tak pernah bayar pajak. Selama ini kami bisa melihat rumah mereka, tapi bukan pendapatannya. Makanya reke­ning bank adalah dokumen paling kuat un­tuk membuktikan kekayaan wajib pajak.

Mungkin banyak pihak ketakutan jika kantor pajak punya akses luas terhadap rekening mereka.

Kenapa mereka harus takut jika memang membayar pajak dengan benar?

Tapi masyarakat bisa melihat aparat pa­jak tidak adil karena mengurus penghasilan individu, tapi membiarkan penghindaran pa­jak oleh korporasi besar.

Siapa bilang? Sebanyak 97 persen penerimaan pajak kita itu justru dari korporasi. Kurang-lebih 60 persen total penerimaan kita disumbang oleh wajib pajak besar. Ka­lau ada orang bilang kok Dirjen Pa ak ngurusin yangkecil dan menengah, justru ka­rena jutaan dari yang kecil dan menengah ini belum bayar pajak.

Sejak tahun lalu, penghasilan usaha kecil-menengah bahkan sudah dikenai pajak.

Bagi kami, tujuan pengenaan pajak penghasilan usaha mikro, kecil, dan mene­ngah itu bukan pada nilainya karena eng­gak gede, melainkan agar mereka belajar membayar pajak. Faktanya, kami juga ti­dak pernah mengejar.

Bukankah ekstensifikasi untuk membidik wajib pajak individu sudah dimulai sejak Anda pertama kali menjabat tiga tahun Ialu? Lalu mengapa masalahnya seperti tak per­nah selesai?

Kami bilang ini soal kapasitas kami yang kecil. Kami tak hanya kekurangan tenaga, tapi juga jumlah kantor pajak dan anggaran. Saat ini pegawai pajak sekitar 32 ribu orang, bandingkan jerman yang jumlahnya 110 ribu orang. Padahal penduduknya sepertiga Indonesia. Atau jepang, pega­wai pajaknya 66 ribu orang. Padahal penduduknya separuhnya Indonesia. Itulah sebabnya, di PasarTanah Abang, Jakarta, misalnya, ada 20 ribu toko tapi petugas pa­jak kami cuma tiga dari seharusnya mini­mal 50 pegawai.

Mungkin ada benarnya pajak diurus oleh sebuah badan yang langsung berada di bawah presiden.

Percuma kalau kapasitasnya tetap ke­cil. Persoalannya bukan di situ. Berada di bawah Kementerian Keuangan juga bisa. Yang terpenting adalah apakah pendapat kami didengarkan atau tidak. Saya sudah mengatakan sejak dua tahun lalu soal kebutuhan tambahan 20 ribu pegawai, yang dipenuhi setiap tahun hanya sekitar 2.000 pegawai. Setiap tahun bertambah kebutuhannya. Kini total kebutuhannya 95 ribu pegawai pajak agar kita bisa sejajar dengan negara lain.

Seberapa besar dampaknya jika ada tam­bahan kapasitas sebanyak itu?

Jika kapasitas kami besar, ditambah oto­ritas pajak dapat memanfaatkan rekening perbankan, saya perkirakan tax ratio kita bisa menjadi 16-17 persen dari saat ini 12 persen. Tambahan 4 persen itu saja bisa mencapai sekitar Rp 500 triliun. Ini harus dipikirkan oleh siapa pun yang akan men­jadi pemerintah pada masa mendatang. Kalau kami memang disuruh mencari uang banyak, penuhi dong kapasitas kami. Selama ini Direktorat Jenderal Pajak seper­ti dibiarkan kecil terus. Kami diabaikan dan dilupakan, yang ada hanya dituntut.

Sepertinya itu semua menjadi alasan Anda atas tak tercapainya target pajak sela­ma tiga tahun terakhir.

Sebenarnya tahun lalu kami mencapai 92 persen dari target penerimaan pajak. Itu pun karena pertumbuhan ekonomi In­donesia juga tidak tercapai, dari sebelumnya diperkirakan 6,8 persen realisasinya hanya 5,7 persen. Secara nominal gross do­mestic product tumbuh 9,6 persen, sedangkan nominal penerimaan pajak kita tum­buh 10,5 persen. Artinya kami sebenarnya sudah mencapai di atas pertumbuhan produk domestik bruto.

Dengan kondisi ekonomi dan kapasitas Dirjen Pajak seperti sekarang, apakah tar­get penerimaan pajak lebih dari Rp 1.100 tri­liun bisa tercapai?

Sulit menjawabnya. Terlalu pagi. Nanti kami dikira belum-belum sudah pesimistis.

Sumber : 134 / TEMPO / 2 MARET 2014

0 comments:

Post a Comment

 

COINPOT

COINPOT