Meraih Asa Pengampunan Pajak

Upaya pemerintah untuk mengefektifkan pengeluaran pemerintah ke arah pengeluaran yang lebih produktif diimbangi dengan upaya memperoleh pendapatan dari sektor pajak.
Target penerimaan pajak dalam APBN 2015 meningkat 31% dibanding APBN 2014, yang diasumsikan akan diperoleh dari bertambahnya jumlah pembayar pajak. Pemerintah bahkan mencanangkan pada 2015 sebagai Tahun Pembinaan Wajib Pajak, sebagai upaya untuk meningkatkan penerimaan pajak di tengah kondisi masih rendahnya tax ratio dan masih ada wajib pajak yang belum tersentuh.
Kepatuhan penduduk Indonesia dalam membayar pajak memang masih sangat rendah. Dari 240 juta lebih penduduk Indonesia, jumlah wajib pajak yang terdaftar masih kurang dari 30 juta orang (atau hanya sekitar 11% dari total penduduk Indonesia). Dari jumlahtersebut, hanya sepertiganya yang melaporkan SPT PPh 2015 atau kurang dari 10 juta penduduk.
Sistem perpajakan yang bersifat worldwide income (semua jenis pendapatan akan dipajaki) dan tarif pajak yang lebih tinggi dari negara tetangga (tarif pajak Indonesia 25%, sementara Singapura hanya 17% dan Thailand sebesar 23%) juga menjadi pendorong orang untuk menghindari pembayaran pajak di Indonesia.
Karena itulah, rasio pajak terhadap PDB tidak pernah melebihi 12% dalam empat belas tahun terakhir, di bawah Malaysia dan Thailand yang di atas 16%, dan jauh di bawah Belgia dan Inggris yang di kisaran 25% dari PDB. Rendahnya penerimaan pajak dibanding potensinya sebenarnya bukan hanya terjadi di negara berkembang, melainkan juga terjadi di negara maju.
Hal ini tidak hanya disebabkan oleh rendahnya law enforcement di bidang perpajakan, namun juga disebabkan oleh masih besarnya underground-economy, dan adanya dana masyarakat yang disimpan di luar negeri. Elliot Uchitelle dalam tulisannya yang berjudul The Effectiveness of Tax Amnesty Programs in Selected Countries mengatakan bahwa setidaknya underground-economy di Italia mencapai 20% dari PDB setiap tahunnya, sementara di Amerika Serikat diperkirakan mencapai USD2 triliun. Perlu diperhatikan di sini bahwa underground economy tidak hanya meliputi kegiatan ilegal seperti yang terkait dengan obat terlarang dan penebangan hutan ilegal, namun lebih luas lagi karena mencakup juga kegiatan ekonomi yang tidak dilaporkan, tidak tercatat, ataupun kegiatan informal.
Di Indonesia kegiatan tersebut antara lain seperti komisi 2,5% untuk broker jual beli rumah, pengusaha Indonesia yang menjual saham perusahaannya dan transaksi pembayarannya dilakukan di luar negeri, ataupun kegiatan-kegiatan di sektor informal (seperti warteg, supir pribadi, maupun asisten rumah tangga).
Underground economy di Indonesia diperkirakan mencapai 20% dari PDB atau lebih dari Rp2.000 triliun. World Bank menemukan, jika potensi underground economy dimasukkan, tax ratio Indonesia mencapai lebih dari 15% dari PDB. Ini berarti ada tax gap atau potensi penerimaan pajak yang hilang sebesar 3-4% dari PDB atau lebih dari Rp400 triliun.
Saat ini pemerintah sudah merencanakan akan menerapkan program pengampunan pajak (tax amnesty) sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan sumber pendanaan anggaran pemerintah. Perlu ditekankan di sini bahwa tax amnesty tidak melulu terkait dengan membawa pulang uang hasil korupsi ataupun hasil kejahatan lainnya. Sebenarnya banyak uang yang memang sengaja ditempatkan di luar negeri untuk kebutuhan manajemen perpajakan (tax management ) yang memang biasa dilakukan dalam konteks perusahaan.
Atau, komisi hasil deal di luar negeri yang tidak dibawa pulang ke Indonesia seperti transaksi penjualan saham perusahaan di Indonesia, tapi pembayarannya di luar negeri yang akhirnya disimpan di sana. Program tax amnesty tidak dapat begitu saja dilakukan tanpa ada beberapa syarat minimal yang dimulai dengan apakah pemerintah mempunyai data yang lengkap dan kredibel mengenai potensi pajak yang belum dibayarkan baik dari wajib pajak terdaftar, dari underground economy, maupun dari dana masyarakat yang ditempatkan di luar negeri.
Database yang lengkap dan kredibel inilah yang dimiliki pemerintah Italia ketika berhasil membawa pulang sekitar 80 miliar euro dan sekitar 4 miliar euro penalty dari dana penduduk Italia yang ditanam di luar negeri. Tanpa data yang lengkap dan kredibel, penghindar pajak akan dapat berkelit. Syarat berikutnya adalah program tax amnesty ini hanya boleh dilaksanakan sekali sehingga tidak muncul persepsi bahwa program ini akan dilakukan berkali-kali, apalagi dalam tenggang waktu yang berdekatan.
Pinaki Bose dan Michael Jetter dalam penelitiannya yang berjudul A Tax Amnesty in the Context of a Developing Economy menemukan bahwa program tax amnesty akan berhasil jika masyarakat tidak memperkirakan bahwa pemerintah akan menjalankan program ini sebelumnya. Cerita sukses dari persyaratan ini ketika pada 1988 Irlandia melakukan program tax amnesty dengan mengumumkan bahwa program ini adalah yang pertama sekaligus terakhir dilakukan.
Akibat itu, dana yang didapatkan mencapai USD750 juta yang jauh di atas target awal sebesar USD50 juta. Namun, ada pula negara yang gagal dalam menjalankan taxamnesty karena terlalu royal dalam menjalankan program ini yaitu India yang menjalankan lima kali program tax amnesty dalam rentang waktu 12 tahun.
Syarat ketiga adalah ada perubahan struktural dalam sistem perpajakan seperti menurunkan tarif pajak maupun penghapusan jenis pajak tertentu karena tax amnesty tidak saja berupaya mendapatkan tambahan penerimaan pajak dalam jangka pendek, namun juga dapat berfungsi meningkatkan jumlah basis pajak dalam jangka menengah dan panjang.
Patut diingat bahwa dengan meningkatnya basis pajak, pemerintah akan cenderung mengurangi minatnya untuk menaikkan tarif pajak pada masa yang akan datang. Irlandia, Kolombia, dan Prancis merupakan contoh negara yang sukses menjalankan tax amnesty karena diikuti dengan perubahan sistem perpajakan. Sementara Argentina pernah gagal menjalankan tax amnesty pada 1987 karena tidak ada perubahan sistem perpajakan selain juga karena terlalu sering diadakan.
Di luar ketiga syarat tersebut, ada satu hal lain yang sangat dibutuhkan yaitu ada penegakan dan kepastian hukum serta politik perpajakan (tax enforcement), yang bila hal ini minus dilakukan, tidak saja mengurangi keberhasilan menarik dana segar, tetapi juga dapat mengurangi minat wajib pajak yang selama ini sudah membayar pajak.
Artinya, tidak saja dalam jangka pendek pemerintah akan kehilangan penerimaan dana segar, tetapi juga berpotensi kehilangan basis pajak dalam jangka menengah dan panjang. India dan Argentina merupakan contoh negara yang gagal dalam menjalankan tax amnesty karena tidak diiringi dengan peningkatan tax enforcement, sementara kegagalan Belgia disebabkan oleh masalah ketidakkonsistenan politik.
Bagi calon pelapor, program ini satu peluang untuk dapat memasukkan uang mereka kembali ke Tanah Air, namun masih ada satu hal yang mereka tunggu, yaitu ”kepastian”. Kepastian ini akan muncul jika pemerintah dapat memberikan keyakinan bahwa tax amnesty ini hanya akan diadakan sekali dan dalam periode yang tidak terlalu panjang (1 tahun), serta akan ada sanksi denda yang lebih berat bagi siapa saja yang bila di kemudian hari diketahui melakukan penghindaran pajak.
Dan, yang terpenting, kepastian hukum juga harus diberikan kepada pelapor seperti ada kepastian bahwa tidak akan ada pengusutan lebih lanjut mengenai asal usul uang, tidak akan diganggu dari sisi perpajakan dalam jangka waktu tertentu, juga jangan ada kebocoran data ataupun liputan media atas orang-orang yang mengikuti program ini.
Hal ini penting bagi sang pelapor karena ibaratnya dia sudah menelanjangi dirinya, janganlah dia tetap merasa waswas takut datanya akan dibocorkan, diusut sumber dananya, dan akan ditangkap di kemudian hari. Selain itu juga harus ada kepastian bahwa tidak akan ada perubahan atas kebijakan tax amnesty ini. Kepastian ini akan mendorong sang pelapor untuk lebih leluasa mengembalikan dan menanamkan uangnya di Indonesia.
Program tax amnesty ini sangat tepat dilakukan saat ini karena Indonesia merupakan salah satu negara G-20 yang akan menerapkan Automatic Exchange of Information mulai September 2017, yang pada intinya akan ada pertukaran/ keterbukaan data aset finansial (dari perbankan, trust, custody, maupun asuransi) antarotoritas pajak.
Bila diperkuat dengan perjanjian bilateral antara Indonesia dan Singapura, terutama yang menyangkut Undang- Undang Kerahasiaan Perbankan, penulis merasa bahwa tax amnesty merupakan sesuatu yang sangat riil dan menjadi satu-satunya peluang bagi calon pelapor untuk mendapatkan pengampunan pajak.
Terkait dengan hal ini, sosialisasi yang lebih gencar mengenai program tax amnesty memang sangat dibutuhkan. Pemerintah bisa meniru India yang melibatkan selebritas dan orang-orang terkenal lainnya dalam menyosialisasikan program ini.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan penerimaan pajak dengan memperluas basis pajak melalui program pengampunan pajak yang diiringi dengan penurunan pajak penghasilan badan dari 25% menjadi 18% (dari laba perusahaan), di tengah kondisi perekonomian yang sedang terkoreksi, memang patut didukung.
Mari kita tingkatkan kesadaran membayar pajak karena pada akhirnya uang pajak tersebut akan kembali lagi ke kita dalam bentuk sarana dan prasarana umum. Kalau bukan kita yang mendukung program ini, lantas siapa lagi?

ARWIN RASYID & WINANG BUDOYO
Pengamat Perbankan (Koran Sindo)

0 comments:

Post a Comment

 

COINPOT

COINPOT