BANK TANAH, Menuju Kota yang Inklusif

Ada hal yang menarik ketika wacana bank tanah mulai disuarakan oleh kalangan pengembang perumahan akhir-akhir ini.

Bia sanya wacana ini selalu diangkat oleh pihak pemerintah, khususnya oleh Menteri Perumahan Rakyat. Di dalam pemberitaan disebutkan bahwa kalangan
pengembang meminta pemerin tah segera membentuk lembaga khusus yang menangani bank tanah untuk ke pentingan hunian bagi masyarakat berpenghasilan
ren dah (Bisnis Indonesia, 8 Maret 2013).

Sebelum lebih jauh membahas substansi permasalahan bank tanah, mari sejenak kita melihat perjalanan sejarah pembangunan perumahan rakyat. Sejak Pelita-I
(1969-1974) masalah pengadaan tanah untuk perumahan sudah menjadi perhatian melalui program penyiapan.

Bahkan, pada Pelita-II (1974-1979) sudah di jalankan program pengadaan tanah matang (site and services) untuk mendukung pembangunan
perumahan rakyat. Pada masa ini Perumnas mendapat penugasan untuk membangun 73.000 rumah sederhana, rumah inti dan kaveling tanah matang.

Memasuki Pelita-III sejak 1980-an, pembangunan perumahan dan permukiman meningkat pesat seiring perkembangan ekonomi, industri dan perkotaan.
Bisnis properti semakin maju dan peran pengembang swasta semakin signifikan.

Namun kemajuan ini tidak diikuti peningkatan peran pemerintah, khususnya peran strategis dan kapasitas pengembang milik negara. Akibatnya tanah
semakin dikuasai oleh segelintir pengembang swasta bermodal besar. Sejak masa itu, masalah tanah di kawasan perkotaan kemudian berubah menjadi komoditas pasar yang semakin sulit dikendalikan. Artinya, selama sekitar 30 tahun ini, pemerintah belum memiliki strategi dan program yang efektif untuk mengembalikan kebijakan tanah untuk perumahan rakyat kepada jalurnya semula.
Belum ada strategi dan sistem kepranataan yang bisa membangun sinergi antara pelaku publik, swasta dan masyarakat. Akhirnya semua pihak terus-menerus terbelit di dalam iklim pembangunan tanpa sistem penyediaan tanah dan perumahan yang memadai.

Namun sejak era reformasi para pengembang mulai mengalami kesulitan, karena banyak sekali pihak yang bermain dalam soal tanah. Bisa dipahami, di dalam iklim demokratisasi dan tata-kelola yang lebih terdesentralisasi, kiat-kiat penguasaan tanah tidak bisa lagi dijalankan seperti pada masa Orde Baru.

Oleh karena itu, wacana bank tanah dari kalangan pengembang pada dasarnya adalah sinyal bahwa keadaan di lapangan sudah tidak
tertahankan lagi. Jika segelintir pengembang merasa tenang karena memiliki banyak tanah, namun tidak demikian nasib ribuan
pengembang lainnya.

STRATEGI YANG JELAS

Keadaan tak bersistem ini bisa menjelaskan mengapa imbauan Menteri Perumahan Rakyat agar pemerintah daerah menyediakan tanah untuk perumahan rakyat sulit
dilaksanakan. Demikian juga langkah-langkah mengadakan tanah untuk pengadaan rumah susun untuk penataan permukiman kumuh yang seperti menemui jalan
buntu. Keadaan ini tidak dapat dibiarkan terus.

Kucuran anggaran puluhan triliun tanpa manfaat yang optimal berarti beban fiskal anggaran negara setiap tahunnya. Untuk itu, pemerintah bersama-
sama perwakilan rakyat harus segera menetapkan kebijakan yang terpadu serta membangun sistem penyediaan yang melembaga di bidang perumahan rakyat, kawasan permukiman dan perkotaan.

Di dalam konteks kebijakan pemerintah ini, wacana bank tanah dapat diartikan sebagai tuntutan agar pemerintah segera mengembangkan berbagai skenario pemanfaatan ruang secara aktif, bukan hanya membuat gambar rencana tata ruang, mengurus perizinan dan menjalankan proyek tahunan.

Pemerintah secara lintas sektor dan bersama-sama pemerintah daerah harus memiliki berbagai sistem dan mekanisme dalam penggunaan
dan pengendalian tanah, pengendalian harga tanah, pembatasan pemilikan tanah yang berlebihan di wilayah prioritas pembangunan,
pemanfaatan tanah telantar, dan penguasaan dan pengelolaan tanah untuk pembangunan perumahan rakyat dan kawasan permukiman.

KOTA INKLUSIF

Bank tanah adalah simpul dari penataan kebijakan pengelolaan tanah perkotaan, membuka aksesibilitas tanah untuk perumahan, menuju
jaminan bermukim bagi semua (security of tenure for all people). Perwujudannya adalah berbagai bentuk skema penyediaan tanah
yang terpadu dengan pembangunan infrastruktur dan fasilitas perkotaan.

Dengan demikian, bank tanah adalah salah satu instrumen penting dari integrasi pembangunan perumahan, permukiman dan perkotaan
menuju kota-kota yang inklusif dan berkelanjutan.

Pengembangan sistem bank tanah tidak bisa berdiri sendiri, melainkan harus ditempatkan sebagai bagian dari strategi menuju kota yang
inklusif, di mana akses tanah/perumahan menjadi salah satu elemen pokoknya. Untuk menjalankan strategi ini, pemerintah perlu melakukan
langkah-langkah yang strategis dan melembaga.

Pertama, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan perbaikan titik-titik permukiman kumuh, penyediaan rumah susun sederhana
tanpa sistem penyediaan, dan menyerahkan penyediaan rumah tapak sederhana pada mekanisme pasar. Pemerintah perlu memiliki
strategi perumahan yang menggunakan pendekatan penanganan pada skala kota (city-wide approach) dengan target menuju kota-kota
tanpa permukiman kumuh.

Kedua, fenomena tingginya angka kekurangan rumah (housing backlog) dan pertumbuhan permukiman kumuh tidak terlepas dari pembiaran
yang lama dari peran pemerintah dalam sektor perumahan dan permukiman kota. Absennya peran negara ini ditandai oleh komodifikasi
dan privatisasi pelayanan kota dan pembiaran segregasi pasar tanah/rumah antara yang formal dan informal.

Tindakan pembiaran sama artinya dengan menutup akses. Untuk itu, pemerintah harus segera membuka akses kepada tanah/rumah
melalui peningkatan peran pemerintah di sektor perumahan dan permukiman secara aktif di lapangan.

Di dalam konteks inilah diperlukan pengadaan bank tanah sebagai salah satu instrumen yang harus dimainkan pemerintah. Ketika terjadi
kelemahan yang akut dalam pengendalian pembangunan, maka tindakan yang harus diambil adalah memperkuat peran aktif pemerintah
melalui penguasaan lahan, pengembangan infrastruktur terpadu dan mengelola pelibatan pihak swasta dan masyarakat secara transparan
dan akuntabel.

MEKANISME BANK TANAH

Mekanisme bank tanah adalah langkah formalisasi tanah yang harus dijalankan secara simultan dengan proses pengembangan multisistem penyediaan perumahan, khususnya sistem perumahan umum dan perumahan swadaya berbasis pemberdayaan komunitas. Di dalamnya termasuk formalisasi permukiman
informal kumuh melalui skema resettlement.

Tanpa penataan sistem penyediaan, maka bank tanah hanya akan menambah suplai pasar tanah yang tetap akan menderek harga tanah
dan meninggalkan warga berpendapatan rendah dan miskin yang tidak mampu menjangkaunya.

Lebih jauh, pengertian bank tanah bukanlah sebatas membeli dan menyimpan banyak tanah, melainkan harus dijalankan melalui penataan
lahan kota serta pengembangan area-area baru secara terencana.

Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan landasan regulasi yang mengatur lembaga yang diberi kewenangan dan kapasitas tata kelolanya. Untuk kepentingan penataan kota-kota pusat kegiatan nasional di delapan kawasan metropolitan, pemerintah sebaiknya merevitalisasi peran dan kapasitas Perumnas yang didukung revisi Peraturan Peme rintah tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun (PP 80/1990).

Adapun, di kota-kota besar dan sedang, pemerintah daerah dapat meniru pola yang sama pada tingkatan daerah dengan menetapkan perda dan membentuk semacam perumda-perumda.

OLEH : Moh. Jehansyah Siregar adalah Pakar Perumahan Institut Teknologi Bandung.
Editor : LAHYANTO NADIE (BISNIS.COM)

0 comments:

Post a Comment

 

COINPOT

COINPOT