Prospek pajak transaksi online

Dalam Undang-Undang Perdagangan Indonesia yang baru saja disyahkan DPR diatur mengenai mekanisme perdagangan online, baik kegiatan transaksi maupun pajaknya. Bahkan, dalam penjelasannya, Menteri Perdagangan menyebutkan salah satu usaha untuk mengatur perdagangan on­line - termasuk mengatasi persaingan dengan luar negeri - adalah dengan mengenakan pajak. Di sisi lain, Ditjen Pajak telah menegaskan bahwa perdagangan online atau lebih dikenal dengan e-com­merce adalah sama dengan transaksi perdagangan barang dan/atau jasa lainnya, tetapi hanya berbeda dalam hal cara atau alat yang digunakan semata. Sehingga, tidak ada perbedaan dalam hal perpajakannya, termasuk aturan khusus perpajakan yang mengatur transaksi e-com­merce ini.

Karena nilai transaksi e-commerce yang tercatat cukup besar, maka sudah selayaknya Ditjen Pajak menaruh perhatian khusus soal pengenaan pajaknya. Menurut catatan International Data Cor­poration (IDC) yang dikutip KOMPAS (5/10/2012), nilai perdagangan lewat internet di Indonesia tahun 2011 mencapai 3,4 miliar dolar AS atau sekitar 30 triliun. Nilai ini akan terus melonjak seiring penetrasi pengguna internet di Indonesia yang semakin membesar. Justru pertanyaan yang harus dijawab apakah trans­aksi e-commerce tersebut sudah dapat dikenakan pajak? Atau pengenaan pajak­nya luput karena sifat transaksinya yang unik?

Pajak e-commerce

Definisi perdagangan secara elektronik atau dikenal dengan electronic commer­ce {e-commerce) secara umum adalah segala bentuk transaksi bisnis yang menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Namun, seiring perkem-bangan waktu, definisi e-commerce menjadi meluas. Saat ini, e-commerce diartikan tidak hanya penjualan dan pembelian melalui internet tetapi juga mencakup pelayanan pelanggan online dan pertukaran dokumen bisnis.


Ditjen Pajak telah memetakan empat model transaksi e-commerce, yaitu onli­ne marketplace, classified ads, daily deals dan online retail. Online market­place adalah kegiatan menyediakan tem­pat kegiatan usaha berupa Toko Internet sebagai online marketplace merchant untuk menjual barang dan/atau jasa. Da­lam model transaksi ini, ada imbalan, dalam bentuk rent fee atau registration fee, atas jasa penyediaan tempat dan/atau waktu memajang iklan barang dan/atau jasa dan melakukan penjualan di toko internet melalui mal internet. Selain itu, ada sejumlah uang yang dibayarkan oleh online marketplace merchant ke penyelenggara online marketplace sebagai komisi atas jasa perantara pembayaran atas penjualan barang dan/atau jasa. Model transaksi e-commerce classified ads adalah kegiatan menyediakan tempat dan/atau waktu untuk memajang iklan barang dan/atau jasa yang dilakukan oleh pengiklan melalui situs yang disediakan oleh penyelenggara classified ads. Kemudian pengiklan membayar sejumlah uang sebagai transaction fee kepada penyelenggara classified ads yang merupakan objek PPh dan PPN. Sedangkan, model ketiga yaitu daily deals mirip de­ngan online marketplace namun alat pembayaran yang digunakan berupa voucer. Model terakhir adalah online retail dimana kegiatan menjual barang dan/atau jasa yang dilaku­kan secara langsung oleh penyelengara online retail kepada pembeli di situs online retail. Dalam keempat model trans­aksi e-commerce ini, ada pembayaran imbal­an atau penghasilan ka­rena jual-beli barang/ atau jasa yang rnerupakan objek pajak Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dikenakan pajak menurut aturan perpajakan yang berlaku. Namun, transaksi e-commerce seringkali tidak sederhana seperti pada model yang disebutkan tadi. Setidaknya, akan terjadi kondisi dimana transaksi akan sulit dikenakan pajaknya. Kondisi terse­but adalah transaksi melalui e-commerce
mampu menembus batas geografis antar negara (borderless). Kedua, bentuk barang atau jasa yang diperjualbelikan da­pat berformat digital seperti piranti lunak komputer musik, majalah atau lainnya. Sehingga, dapat dikatakan bahwa transaksi fisik tidak diperlukan lagi dan digantiKan dengan perpindahan bentuk digital saja. Ketiga, transaksi e-commerce terjadi begitu cepat di seluruh dunia dalam waktu singkat.

Karena transaksi e-commerce tidak mengenal batas negara, tidak ada bentuk fisik yang dijual belikan dan tidak ada persyaratan khusus maka pengenaan PPh dan PPN dalam transaksi e-commer­ce harus memperhatikan beberapa hal penting. Hal pertama adalah bagaimana menentukan keberadaan perusahaan e-commerce tersebut, ketika tidak berlokasi di Indonesia. Karena seringkali perusahaan tersebut secara fisik tidak nyata namun dapat menjalankan aktivitasnya di Indonesia. Amerika Serikat (AS) pernah menghapuskan pajak e-commerce ini karena kesulitan mendefinisikan ke­beradaan lokasi perusahaan e-commerce. Namun, karena transaksi online meningkat tajam, hingga mencapai jutaan dollar AS, maka pemerintah AS terpaksa mengenakan pajak atas transaksi e-com­merce atau dikenal dengan streamlined sales tax project walaupun bertentangan dengan prinsip kehadiran fisik perusaha­an.

Hal kedua yang harus diperhatikan adalah negara mana yang berhak memajaki transaksi e-commerce. Hak pemajakan suatu negara hanya mencakup batas-batas nasional yang diatur dalam peraturan negara tersebut. Namun, dalam transaksi e-commerce, dapat saja menggunakan satelit atau server di wilayah yang bukan yuridiksinya. Pembatasan waktu atau time test bagi wajib pajak luar negeri sebanyak 183 hari tampaknya tidak mempengaruhi sulitnya me­nentukan hak pemajakan e-commer­ce. Karena, pembatasan 183 hari tersebut menjadi tidak pas apabila ukurannya menggunakan kuantitas akses internet.

Hal penting ketiga dalam transaksi e-commerce adalah definisi objek pajaknya. Dalam empat model transaksi yang disebutkan sebelumnya - semuanya jelas, ada barang dan/atau jasa yang dijual belikan dan ada perpindahan barang dan/atau jasa tersebut dari penjual ke pembeli. Nah, seringkali dalam kenyataanya semua transaksi e-commerce terjadi dalam dunia maya dan tidak diketahui secara jelas apa yang menjadi objek pajaknya. Penghasilan dapat saja dikategorikan sebagai hasil penjualan, royalti, hasil pembayaran bantuan teknis, deviden atau bunga. Tentunya, pengkategorian objek pajak ini sangat tergantung dari keberadaan bentuk usaha tetap (BUT) perusahaan e-commerce tersebut.
Apakah menjadi pehdapatan BUT atau menjadi pajak pertambahan nilai saja, yang kesemuanya harus pastikan terlebih dahulu. Yang mungkin harus dilakukan oleh Ditjen Pajak dalam rangka menangkap peluang pajak dari transaksi e-commerce secara luas adalah menambahkan definisi BUT dalam UU PPh agar mencakup definisi perusahaan e-commerce atau internet service provider (ISP). Sehingga, tidak ada transaksi e-commerce yang luput dari pengenaan pajaknya.

Oleh : Chandra Budi, Bekerja di Ditien Pajak Kementerian Keuangan, Alumnus Pascasarjana IPB (Kontan)

0 comments:

Post a Comment

 

COINPOT

COINPOT