'Banyak Negara Mengubah Struktur Kelembagaan Pajak'


Sepanjang 10 tahun masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia hanya dua kali mencapai target penerimaan pajak, yakni pada 2004 dan 2008. Kesalahan fundamental berasal dari pola pikir pemerintah mengabaikan peran pajak, padahal instrumen fiskal itu berkontribusi mencapai 70% terhadap penerimaan negara.
Pemerintahan baru perlu mengoptimalkan penerimaan pajak. Guna memberi pandangan terkait perpajakan kepada pemerintahan terpilih, Bisnis mewawancarai Pengamat Pajak Universitas Indonesia Danny Darussalam, berikut petikannya: 


Apa kendala pemerintah mengumpulkan pajak?

Pertama, ada yang salah dalam penghitungan penetapan target pajak. Pemerintah tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya, sehingga selalu diubah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara perubahan (APBNP). Selama ini masyarakat tidak pernah tahu cara penghitungan target pajak. Ke depan sudah sewajamya dipublikasikan agar dapat dikritisi dan jadi lebih realistis.

Kesalahan fundamental kedua, pemerin­tah sendiri belum sadar bahwa pajak itu krusial jadi tidak menempatkan lembaga pajak sesuai perannya. Terbukti dalam setiap kampanye calon presiden, jarang sekali ada yang menyinggung solusi memaksimalkan penerimaan pajak. Seakan-akan anggaran yang mau mereka gelontorkan itu given, ada begitu saja.

Terakhir, faktor eksternal dan internal. Ekstemal seperti krisis global yang sulit diatasi, sedangkan internal dari sisi kelembagaan Ditjen Pajak yang masih konvensional di bawah Kementerian Keuangan.

Apa dampak sistem kelembaqaan pajak yang konvensional?

Direktorat Jenderal Pajak tidak fleksibel dalam mengembangkan sumber daya manusia. Gambarannya, wajib pajak sudah mencapai 25 juta, sementara personel pengawas pajak hanya 31.000 orang, tidak berimbang. Data jumlah wajib pajak yang memasukkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pun terus menurun, dari 58% pada 2010, menjadi 53% pada 2011, dan terus merosot 41% dan 37% masing-masing pada 2012 dan 2013 lalu.
Selain itu, fidak ada keleluasaan mengatur anggaran, dan mengatur organisasinya sendiri. Perkembangan struktural Ditjen Pajak sangat lambat karena terbentur birokrasi. Banyak negara yang sudah mengubah struktur kelembagaan pajak menjadi Semi Autonomous Revenue Authority.

Manfaat perubahan struktur kelembagaan pajak menjadi badan semi independen?

Pemisahan lembaga pajak menjadi semi otonom akan mendorong fleksibilitas. Misalnya untuk menambah karyawan tidak perlu izin ke kementerian terkait, tetapi langsung saja merekrut. Bisa pula mengatur anggarannya sendiri.

Selama ini Ditjen Pajak tidak leluasa mengatur anggaran sendiri?

Di Indonesia, anggaran lembaga pajak tidak dikaitkan dengan jumlah perolehan pajak. Dalam struktur lembaga pajak modern di negara lain, anggaran ditetapkan sekian persen dari target pajak yang mampu mereka capai. Ada rencana setelah pemisahan badan penerimaan pajak, anggaran ditetapkan 1% dari target penerimaan, atau minimal Rp10 triliun. Artinya nilai itu dua kali lipat dari anggaran saat ini.

Struktur kelembagaan yang ideal?

Idealnya pimpinan lembaga harus bersifat kolektif seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jadi ada jajaran direksi yang berasal dari wakil Kementerian Keuangan, wajib pajak, dan pihak lain. Tujuannya, agar tidak menjadi lembaga semi otonom yang berkekuatan penuh (powerfull). Peraturan pajak tetap harus dipegang Badan Kebijakan Fiskal.

Saat berganti menjadi badan, adakah risiko kewenangan yang bertambah besar?

Maka itu harus dibatasi dengan kolektifitas. Komite pengawasan perpajakan yang ada sekarang ini juga harus diangkat lebih Independen di bawah presiden, agar punya kewenangan utama untuk mengawasi Badan Penerimaan Pajak.

Apakah badan itu dapat berkontribusi dalam waktu dekat?

Pengalaman di negara-negara lain tidak sebentar pengoperasiannya. Seperti di Peru butuh waktu tiga tahun, dibentuk pada 1988 dan terealisasi pada 1991. Perubahan DJP menjadi lembaga semi otonomi itu sebenarnya sudali terlambat, Singapura saja sudah sejak 1992, Malaysia sejak 1993. .

Mengapa wacana itu ingin direalisasikan sekarang?

Isu perubahan itu sudah ada sejak zaman Menteri Keuangan Sri Mulyani, sampai Agus Martowardjojo tapi tidak terealisasi. Mereka kurang setuju karena mempertimbangkan pajak itu bagian dari kebijakan fiskal, sehingga ada keinginan untuk tetap di bawah kendali Kementerian Keuangan. Sebenarnya tidak harus dikhawatirkan, meskipun terpisah tetapi tetap di bawah koordinasi kementerian, seperti di Singapura atau Amerika Serikat.

Butuh biaya besar mewujudkan lembaga baru?

Tentu saja. Hal itu juga yang dikhawatirkan Menteri Keuangan saat ini Chatib Basri atas pelebaran anggaran. Namun saya yakin dengan pengalaman di negara lain, setelah transformasi lembaga, penerimaan pajak bisa meningkat signifikan. Biaya pasti ada, tetapi keuntungan yang dihasiikan akan lebih ba­nyak lagi. Hal ini kurang disadari, masih ada ketakutan bahwa akan memperlebar anggaran. 

Anggaran yang dibutuhkan membentuk lembaga baru? 
Saya kira angka 1 % dari total penerimaan itu sudah cukup untuk tahap awal, atau sekitar Rp10 triliun. Awal yang menjadi prioritas itu penambahan SDM, infrastruktur kantor, sistem teknologi informasi, data, dan lainnya.

Rasio ideal antara penqawas pajak dan wajib pajak?

Kalau bicara rasio ideal, tidak hanya ter­hadap wajip pajak tetapi dari subyek pajak. Gambaran angka ideal di Jerman 1 pengawas pajak berbanding 727 subjek pajak. Di Jepang 1 : 1.818. Sementara di Indonesia masih 1 : 7.700.

Inovasi yang harus dilakukan di masa mendatang?

Selama ini lembaga masih terjebak pada sektor-sektor yang seksi sebagai sumber penerimaan pajak. Terbukti ketika salah satu sektor mengalami perlambatan seperti pertambangan, penerimaan pajak menurun drastis.

Pendapatan nasional terbesar berasal dari sektor rnanufaktur, pertanian, kehutanan, peternakan, dan perikanan. Persoalannya, sektor itu sulit dikenai pajak karena kebanyakan informal. 

Strategi untuk mengoptimalkan penerimaan wajib pajak orang pribadi?

Bekerja sama dengan pemerintah daerah melakukan penyisiran. Nantinya suplai data bisa dikompensasi dengan pernbagian dana bagi hasil daerah.

Optimalisasi penerimaan dari wajib pajak badan? 
 

Di dunia intemasional sudah ada kerja sama G21 dengan OECD untuk memerangi masalah agresif tax pricing yang diiakukan oleh perusahaan multinasional. indonesia seharusnya mengadopsi itu dengan mendokumentasikan perusahaan yang melaku­kan tax pricing secara agresif atau defensif.

Target pajak 2015 realistis atau tidak?

Saya pikir akan cukup berat dicapai kalau tidak ada perubahan struktural. Saya pesimistis itu bisa tercapai kalau kinerja sekarang tidak diubah. Intinya reformasi dari seluruh pemangku kepenlingan. Tidak hanya Ditjen Pajak, tetapi pengadilan pajak, konsultan pajak, kepolisian, kejaksaan hingga dunia akademisi perpajakan.

Pewawancara: Lavinda & Surya M. Saputra (Bisnis Indonesia)







0 comments:

Post a Comment

 

COINPOT

COINPOT