Pungutan Pajak Daerah


OLEH : DR WlRAWAN B ILYAS (KORAN JAKARTA)
Pajak yang dipungut dari masyarakat harus adil dan tidak merugikan wajib pajak. Namun, meski pungutan pajak berdasarkan undang-undang, pada kenyataannya belum memberi kepastian.
Itu bisa dicermati saat Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan persoalan terjadinya 'rebutan' pungutan pajak antara pemerintah pusat dan daerah. Putusan MK No 52/ PUU-IX/2011 mengenai pengujian UU No 28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), khusus-nya mengenai pajak atas permainan golf, dicabut dan dibatalkan karena tidak sesuai dengan konstitusi.
Para ahli menjelaskan persoalan pajak atas permainan golf yang diatur dalam UU PDRD telah menimbulkan ketidakpastian dan menjadi pungutan pajak ganda. Pungutan ganda terkait dengan aturan pajak dalam UU Nomor 42 tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (UU PPN)
Jika MK tidak membatalkan, dalam praktik di lapangan, pengusaha golf akan terkena pajak dua kali (pajak ganda): pajak daerah atas permainan golf yang diatur dalam Pasal 42 ayat (2) UU PDRD dan pajak pusat, yaitu PPN karena golf termasuk jasa yang tidak dikecualikan dalam pungutan PPN sesuai Pasal 4A UU PPN.

Tata Ulang

Contoh putusan MK itu rnenunjukkan penyusun UU PDRD terkesan kurang berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan atau Direktorat Jenderal Pajak yang berwenang memungut jenis pajak pusat dan kebutuhan mencari dana untuk keperluan btonomi daerah tampak lebih mendominasi jalan pikir ketimbang mencari sinkronisasi antar undang-undang pajak:
Otonomi daerah yang memberi keleluasaan atau kewenangan penuh kepada daerah' sering menimbulkan dilema dalam pungutan pajak. Penjelasan UU PDRD daerah sendiri sudah mengakui, dengan menyatakan banyak pungutan daerah mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena tumpang tindih dengan pungutan pusat dan merintangi arus barang jasa antar daerah.

Kalau begitu, UU PDRD harus segera ditata ulang agar tidak menimbulkan ketidakpastian dalam pungutan. Tidak tertutup kemungkinan atas objek pajak daerah lainnya bersinggungan dengan pajak pusat yang akan memberatkan masyarakat.
Pajak pada dasarnya dipungut untuk kepentingan negara (Pasal 23A, amendemen ketiga UUD 1945). Jadi, pungutan pajak serta pengelolaan pajak harus dilakukan negara yang diwakili pemerintah pusat.
Namun, bukan berarti pemerintah daerah tidak boleh memungut pajak. Pungutan pajak yang diatur dalam UU , PDRD harus serius memperhatikan objek pungutan yang telah diatur dalam UU Perpajakan yang dipungut pemerintah pusat. Putusan MK tadi menjadi bukti bahwa penyusun UU PDRD kurang memahami prinsip hukum pungutan pajak yang diatur dalam Pasal 23A UUD 1945.
Artinya, jalan berpikir memungut pajak daerah tidak boleh berlatar belakang kepentingan setempat semata. Sebab pajak bukan untuk kepentingan daerah, tapi negara. Kepentingan daerah harus tunduk pada kepentingan negara. Mementingkan ekonomi suatu daerah menjadi kesalahan amat fatal menggunakan instrumen pajak daerah.
Keadilan dan kepastian menjadi paling penting dalam pungutan pajak. Hukum pajak mengatur keadilan dan kepastian dalam pungutan. Hanya mementingkan ekonomi tanpa keadilan dan kepastian akan runtuh.
Menata ulang pungutan pajak daerah menjadi amat vital demi menuju negara yang sejahtera. Hukum pajak tidak memiliki fungsi kepentingan sektoral, tapi menyejahterakan bangsa. Fungsi hukum pajak sejalan dengan teori Rousseau yang menekankan hukum sebagai kehendak etis umum.

0 comments:

Post a Comment

 

COINPOT

COINPOT